Total Tayangan Halaman

Selasa, 09 Agustus 2011

METODOLOGI KOMPROMISTIK AS-SYA'RANI: Interpretasi Untuk Kontroversi Para Ahli Fikih


METODOLOGI KOMPROMISTIK AS-SYA'RANI:
Interpretasi Untuk Kontroversi Para Ahli Fikih



Sifat komprehensif (as-syumul) dan perfektif (al-kamal) yang dimiliki oleh syariat Islam adalah sebuah hal yang aksiomatis (al-Musallamaat). Seperti diketahui, bahwa syariat Islam menjangkau segala sisi kehidupan manusia, dari mulai i’tiqad, akhlak, maupun mu’amalah (interaksi sosial).Fuqaha kontemporer membagi mu’amalat menjadi tujuh macam : ahwal syakhsiyah, hukum perdata, hukum pidana, hukum acara, hukum tata Negara, hukum Internasional, hukum Ekonomi.Begitu juga diketahui bahwa secara global, syariat Islam telah menjelaskan solusi dan hukum segala perkara di dunia ini, untuk dijadikan pedoman umat manusia dalam menjalani kehidupannya. "Tiadalah kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab" (QS. al-An'am [6]: 38).
            Uraian di atas memang sudah populer di kalangan umat Islam. Namun apakah umat Islam meyakininya secara logis? Atau hanya sebatas 'warisan' ideologis?. Lalu, jika memang syariat Islam telah perfek, mengapa masih ada kontroversi antara para ulama (baca: Ahli Fikih)? Nah, untuk menjawab hal tersebut serta menambah keyakinan umat Islam akan uraian di atas, baik secara logis maupun ideologis, datanglah as-Sya'rani --ilmuan Islam abad 10 H.— dengan karyanya al-Mizan al-Kubra. Menurut as-Sya'rani, syariat Islam adalah syariat yang santun, luas dan komprehensif, memuat seluruh pendapat ahli Fikih. Oleh karena itu, seluruh ahli fikih berada pada jalan yang benar[1]. Artinya tidak ada yang salah, walau ada kontroversi pendapat antara mereka. Syariat Islam tetap satu, tidak terpecah belah dengan kontroversi antara para ulama/ahli fikihnya.
            Dalam hal ini, as-Sya'rani berusaha melakukan interpretasi (Ta'wil) atas kontroversi pendapat yang terjadi di kalangan ulama/ahli fikih dengan metodologi kompromistiknya.

As-Sya'rani: Sebuah Introduksi
            Menurut riwayat yang paling terpercaya, As-Sya'rani dilahirkan pada tanggal 27 Ramadhan tahun 898 H. di desa Qalqashandah di Mesir. Setelah 40 hari dari kelahirannya, ia dibawa ke desa ayahnya. Kemudian ia dijuluki As-Sya'rani, sebagai penisbatan pada desa ayahnya tersebut. Nama lengkapnya adalah: Abul Mawahib Abdul Wahab bin Ahmad bin Ali as-Sya'rani. Dalam hal keturunan, ia patut berbangga diri. Sebab ia adalah keturunan dari Ibn al-Hanafiah, seorang anak dari khalifah Ali bin Abi Thalib[2]. Berikut ini beberapa keterangan tentang as-Sya'rani:

a.      Budi Pekertinya
As-Sya'rani merupakan pewaris akhlak Nabi saw. Budi pekertinya yang luhur nyaris sulit didapatkan pada diri umat manusia di zamannya. Ia menjelaskan kumpulan budi pekertinya, yang ia anggap sebagai nikmat Allah swt. yang perlu diceritakan, pada karyanya Lathaif ul-Minan w al-Akhlak fi Wujub it-Tahaduts bi Ni'matillahi 'al al-Ithlaq atau disebut al-Minan al-Kubra. Di antara budi pekertinya dengan Allah swt yang ia sebutkan adalah: 1. Ketika keburukan/musibah menimpanya ia justeru memperbanyak memuji Allah swt. Karena menurutnya seluruh takdir Allah swt adalah pusat hikmah, bukan untuk hikmah[3]. 2. Ia benci dan tidak suka untuk duduk di dalam masjid dalam keadaan tidak suci (berhadats). Ia juga tidak suka mengeluarkan angin (hadats) di dalam masjid.
Adapun di antara budi pekertinya kepada makhluk Allah adalah kelembutannya pada binatang, yaitu: Ia benci untuk membawa cambuk ketika ia menunggangi binatang. Ia juga tidak melaknat binatang yang melemparnya ke lumpur ketika sedang ditunggangi[4].

b.      Eksplorasi Ilmiahnya
As-Sya'rani memulai eksplorasi ilmiahnya sejak usia dini. Sejak umur 8 tahun, ia sudah hapal al-Qur'an dan tidak pernah ketinggalan shalat 5 waktu. Ia juga hapal beberapa matn (bait-bait ilmiah) dalam ilmu-ilmu Arab & Islam. Di antaranya adalah matn Abi Syuja' dan Aajrumiah[5]. Eksplorasi ilmiahnya berkembang ketika ia pergi ke kota Kairo untuk menuntut Ilmu. Di Kairo ia makin banyak menghapal matn dan banyak berguru pada ilmuan-ilmuan besar Islam[6]. Salah satu gurunya yang terkenal adalah Syaikh ul-Islam Zakariya al-Anshari.

c.      Usahanya dalam Mempublikasikan (Nashr) Ilmu
Menurut Vollers (1857-1909 M.), seorang orientalis asal Jerman: "Hidup as-Sya'rani dipenuhi dengan beribadah dan mengajar[7]" as-Sya'rani mirip dengan al-Ghazali dalam hal jumlah karya-karyanya yang melimpah. Oleh karena itu, ia layak digolongkan sebagai salah satu ilmuan ensiklopedik (al-Mausuu'ii). Menurut penulis ­Fihris ul-Faharis, karya as-Sya'rani dalam bidang ilmu-ilmu Islam dan perangkatnya, melebihi 300 buah buku[8].

d.      Pendapat Para Ilmuan Tentangnya
Di antara sifat as-Sya'rani yang disebutkan al-Manawi, seorang murid as-Sya'rani, adalah: ia (as-Sya'rani) selalu mengikuti sunnah dan menjauhi bid'ah, penuh wara' serta altruisme (itsar)[9] dll.
Menurut Duncan Black Mac Donald, M. A., B. D. P., seorang profesor di Hardford school: Ia (as-Sya'rani) memiliki kelebihan-kelebihan yang tinggi. Ia adalah seorang penggagas yang memiliki orisinalitas. Akalnya dalam bidang fikih, merupakan salah satu akal yang jarang ditemukan setelah 3 abad pertama Islam[10].
Menurut Nicholson (1868-1945 M.), seorang orientalis asal Inggris: Ia (as-Sya'rani) merupakan seorang sufi terbesar di antara para sufi yang diketahui dalam dunia Islam[11].

Pendapat as-Sya'rani Tentang Syariat Islam
            As-Sya'rani menyatakan bahwa Syariat Islam adalah bagai sebuah pohon yang memiliki banyak ranting dan cabang. "Syariat adalah bagai sebuah pohon yang besar yang tersebar. Pendapat-pendapat para ilmuannya bagai cabang-cabang dan ranting-ranting. Maka tidak ada --bagi kita-- sebuah cabang tanpa asal, dan tidak ada buah tanpa ranting, sebagaimana tidak ada bangunan tanpa tembok.[12]" "Tidak ada satu pendapatpun yang dikemukakan oleh ilmuan-ilmuan syariat yang keluar dari kaidah-kaidah syariat, sebagaimana yang kami ketahui. Sesungguhnya pendapat-pendapat mereka semua adalah di antara dekat dan lebih dekat, jauh dan lebih jauh, dilihat dari maqam (derajat) setiap manusia. Sorotan sinar syariat mencakup mereka semua dan menjeneralisir mereka, walau berbeda dalam melihat maqam  Islam, Iman & Ihsan[13]"demikian ungkap as-Sya'rani.
            Jika memang seluruh mazhab para mujtahid tidak keluar satupun dari syariat Islam, maka di manakah letak kesalahan hadits yang menggambarkan adanya kesalahan berijtihad[14]? Dalam hal ini, as-Sya'rani menjelaskan bahwa "Maksud dari kesalahan di sini adalah kesalahan seorang mujtahid dalam hal tidak menemukan dalil bagi masalah tersebut, bukan kesalahan yang keluar dari syariat. Sebab jika keluar dari syariat maka tidak ada pahala baginya. Sedangkan as-Syaari' (Alah swt melalui Rasulullah saw) telah menetapkan baginya pahala. Maka maknanya tak lain adalah jika seorang hakim berijtihad dan menemukan dalil yang sama yang ada dalam hal tersebut dari syaari', maka baginya dua pahala. Yaitu pahala mencari dan pahala menemukan dalil. Dan jika belum menemukan dalil yang dimaksud namun menemukan hukumnya, maka baginya satu pahala. Yaitu pahala mencari. Oleh karena itu, maksud dari kesalahan di sini adalah kesalahan tambahan (Al-Idhofi), bukan kesalahan mutlak.[15]"
            Untuk lebih memperkuat pendapatnya, as-Sya'rani menunjukan keterikatan para mujtahid dengan Allah swt dan Rasulullah saw, seperti berikut:
1.      Imam Abu Hanifah meriwayatkan dari 'Atha, dari Ibn Abbas, dari Rasulullah saw, dari Jibril as., dari Allah swt.
2.      Imam Malik meriwayatkan dari Nafi', dari Ibn Umar, dari Rasulullah saw, dari Jibril as., dari Allah swt.
3.      Imam Syafi'i meriwayatkan dari Imam Malik, dari Nafi', dari Ibn Umar, dari Rasulullah saw, dari Jibril as., dari Allah swt.
4.      Imam Ahmad bin Hambal meriwayatkan dari Imam Syafi'I, dari Imam Malik, dari Nafi', dari Ibn Umar, dari Rasulullah saw, dari Jibril as., dari Allah swt[16].
Sebagaimana kita ketahui dalam ilmu hadits --dalam pembahasan riwayat yang paling benar--, Imam Bukhari berpendapat bahwa riwayat yang paling benar adalah: riwayat Imam Malik, dari Nafi', dari Ibn Umar. Namun karena Imam Sya'fii merupakan murid terbaik Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hambal adalah murid terbaik Imam Sya'fii, maka beberapa ulama menyatakan bahwa riwayat yang paling benar adalah: Riwayat Imam Ahmad bin Hambal dari Imam Syafi'I, dari Imam Malik, dari Nafi', dari Ibn Umar. Riwayat tersebut terkenal dengan julukan silsilah emas (Silsilat udz-Dzahab).[17]

Metodologi Kompromistik as-Sya'rani
Sebenarnya metodologi kompromistik (at-Taufiqi) yang digagas as-Sya'rani, tidaklah digunakan hanya untuk menginterpretasi kontroversi pendapat antara ahli fikih. Tapi meluas, menjangkau segala macam bentuk kontroversi yang terjadi pada umat Islam. Nampaknya as-Sya'rani memahami kondisi umat Islam saat itu, yang banyak terjadi perpecahan. Maka ia berusaha melarang umat untuk mendekati sebab-sebab perpecahan. Namun kebetulan, ia mengkhususkan sebagian besar studinya untuk menyelesaikan kontroversi antara para ahli fikih.
Dalam melakukan kompromi  antara Tasawuf-ilmu Kalam-Tauhid dan ilmuan yang mengandalkan logika dari para filsuf dan ahli ilmu kalam, as-Sya'rani menulis al-Yawaqit w al-Jawahir. Selain itu, ia juga berusaha melakukan kompromi antara hadits-hadits yang secara zahir tampak adanya kontroversi. Usahanya tersebut dapat kita lihat pada juz pertama karyanya al-Mizan al-Kubra di halaman 54 sampai 70.
Jika kita amati dari pembahasan di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa pada diri as-Sya'rani telah tertanam tekad untuk membersihkan masyarakat Islam dari kontroversi. As-Sya'rani berusaha untuk menyatukan umat Islam. Ia juga telah mengajarkan kepada para muridnya untuk memiliki cara khusus ketika berinteraksi dengan kelompok-kelompok Islam yang menyimpang, seperti al-Jabariah dan Muktazilah[18]. Ia ingin agar tidak ada perdebatan yang dapat mengakibatkan terjadinya perpecahan dan kerusakan.

Interpretasi Untuk Kontroversi Para Ahli Fikih
            Setelah kita tahu bahwa syariat Islam dalam perspektif as-Sya'rani adalah satu --tidak terpecah-pecah— dan seluruh pendapat para mujtahid dalam syariat adalah masuk dalam lingkaran kesatuan syariat Islam, di sini kita akan membahas bagaimana interpretasi as-Sya'rani atas kontroversi pendapat yang terjadi di kalangan para ahli fikih atau mujtahid.
            As-Sya'rani berpendapat bahwa syariat Islam yang satu tersebut, terbagi menjadi dua tingkat. Atau ia sebut sebagai teori dua derajat timbangan (Nadzariat Martabatai il-Mizan). Dalam bab pendahuluan al-Mizan al-Kubra ia menulis: "Anda harus tahu dan betul-betul meyakini bahwa syariat yang suci, datang --jika dilihat dari perintah & larangan atas sebuah permasalahan yang terjadi perbedaan pendapat di dalamnya— dengan dua tingkat, yaitu: ringan dan berat. Tidak pada satu tingkat, seperti dikira oleh beberapa pengikut (al-Muqalidun). Oleh karena itu, mereka memandang terjadinya ketidaksinkronan (at-Tanaqud) pada perbedaan pendapat tersebut. Padahal sesungguhnya hal itu tidak terjadi.[19]"
Dalam menjelaskan teori dua derajat timbangannya, as-Sya'rani berkata: "Penjelasan akan hal itu adalah sebagai berikut: Bahwa ada dari sebagian Imam (mujtahid) yang menghukumi wajib bagi sebuah perintah yang mutlak dan adapula yang menghukuminya sunah. Sebagian dari mereka juga menghukumi haram bagi sebuah larangan yang mutlak dan adapula yang menghukuminya makruh. Sesunguhnya pada setiap tingkat dari dua tingkat/derajat tersebut, terdapat para pengikut --dalam hal interaksi langsungnya dengan at-Takalif (perintah & larangan dalam syariat)--. Bagi mereka yang kuat secara keimanan dan kondisi fisik, maka diperintahkan dengan hal-hal yang berat, yang secara jelas terdapat dalam syariat, ataupun disimpulkan dari mazhab mereka atau mazhab lain. Bagi mereka yang lemah secara tingkat keimanan dan kondisi fisik, maka diperintahkan dengan keringanan, yang secara jelas terdapat dalam syariat, maupun disimpulkan dari mazhabnya atau mazhab yang lain. Sebagaimana dijelaskan Allah swt dalam firmannya: "Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu" (Qs. At-Taghabun [64]: 16) secara umum. Maka bagi orang yang kuat tidak dibolehkan untuk turun ke tingkat/derajat ringan, sedangkan dirinya mampu untuk melaksanakan hal yang berat. Karena hal itu seperti mempermainkan agama. Begitu juga orang yang lemah tidak diperintahkan untuk naik ke tingkat/derajat berat, sedangkan ia tidak mampu melaksanakannya. Namun jika ia (orang yang lemah tersebut) mengerjakannya juga, tidak ada larangan dalam syariat. Kedua tingkat tersebut dalam sebuah urutan yang wajib, bukan at-Takhyir (boleh memilih) seperti dikira oleh sebagian dari mereka. Maka jangan sampai Anda salah. Tidak dibolehkan bagi orang yang mampu shalat dengan berdiri, melaksanakannya dengan duduk. Begitu juga tidak dibolehkan bagi orang yang mampu shalat dengan duduk, melaksanakannya dengan terlentang. Begitu juga halnya bagi seluruh ibadah. Sebagaimana juga dalam hal ibadah sunah, yang utama dan tidak utama. Bukan merupakan sifat terpuji, untuk mengerjakan yang tidak utama, dalam kondisi kemampuannya untuk melakukan yang utama.[20]"
Demikianlah, dengan teori dua derajat timbangannya, as-Sya'rani berusaha melakukan interpretasi bagi fenomena kontroversi pendapat para ahli fikih, yang dianggap sebagian orang sebagai kontroversi hakiki. Dalam hal ini, as-Sya'rani menggunakan metodologi kompromistiknya, untuk menjelaskan kepada umat Islam, bahwa sebenarnya tidak ada istilah kontroversi dalam syariat Islam. Sebagaimana juga ia ingin menjelaskan bahwa adanya perbedaan pendapat tersebut, merupakan sebuah kemurahan yang diberikan Allah swt kepada manusia dalam beribadah. Sehingga yang lemah dapat melaksanakan pendapat yang ringan dan yang kuat melaksanakan pendapat yang berat. "Sesungguhnya perbedaan mereka (para ahli fikih) adalah terjadi atas sekenario yang maha mengetahui dan bijaksana (Allah swt.)[21]" demikian ungkap as-Sya'rani.

Contoh Aplikatif Metodologi Kompromistik as-Sya'rani
            Dalam bab sifat shalat pada al-Mizan al-Kubra, as-Sya'rani menjelaskan: "Sebagai contoh: Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa hukum Tuma'ninah dalam ruku' dan sujud adalah sunah, bukan wajib. Sedangkan pendapat tiga imam yang lain adalah wajib. Maka (pendapat) yang pertama ringan dan yang kedua berat. Perkara ini kembali ke dua derajat timbangan. Pendapat pertama diperuntukan bagi kelemahan sebagian besar manusia untuk menahan perasaan akan kebesaran Allah swt di hati saat ruku' dan sujud. Adapun pendapat kedua diperuntukan bagi kemampuan al-Akabir (Orang-orang yang telah mencapai maqam yang tinggi) untuk menahan kebesaran Allah swt yang berkesinambungan di hati mereka. Maka yang pertama menyesuaikan kondisi kaum yang lemah, dan yang kedua menyesuaikan kondisi orang-orang yang kuat. Bagi keduanya terdapat pengikutnya masing-masing[22]"
            Uraian di atas merupakan contoh usaha kompromistik as-Sya'rani bagi dua pendapat yang berbeda. Dalam al-Mizan al-Kubra, as-Sya'rani tidak hanya menerapkan metologi kompromistiknya bagi dua pendapat yang bersebrangan saja. Tapi juga bagi tiga pendapat dan empat pendapat yang bersebrangan. Namun dalam tulisan yang singkat ini, saya tidak dapat mencantumkan contoh bagi tiga dan empat pendapat bersebrangan yang dikompromikan oleh as-Sya'rani, karena keterbatasan ruang dan kondisi. Untuk mengetahuinya, pembaca dapat membaca langsung pada kitab al-Mizan al-Kubra karya Abdul Wahab as-Sya'rani.

Kontribusi Metodologi as-Sya'rani Bagi Eksistensi Peradaban Islam
            Tak dapat dipungkiri bahwa setiap metodologi yang digagas oleh setiap ilmuan Islam, akan memberikan kontribusi bagi eksistensi peradaban Islam. Begitu juga metodologi yang digagas as-Sya'rani. Lalu apa kontribusinya?
            Untuk membahas hal ini, kita dapat membaginya menjadi dua: Pertama, kontribusinya dalam mempertahankan peradaban umat Islam. Kedua, kontribusinya dalam memahami syariat Islam secara benar. Untuk yang pertama, paling tidak ada tiga hal:
1. Menghormati para ilmuan dan ahli fikih serta pendapat-pendapatnya.
Sebagaimana kita ketahui, Islam sangat menghormati & menjunjung tinggi ilmu pengetahuan dan para penuntutnya serta yang mengajarkannya. "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang menuntut ilmu pengetahuan beberapa derajat" (Qs. Al-Mujadilah [58]: 11). Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya serta seluruh penghuni langit & bumi, selalu bershalawat bagi yang mengajarkan manusia kebaikan" HR. at-Titmidzi & at-Tabhrani.

2. Anjuran untuk memahami hakikat segala sesuatu, sebelum mengkritiknya.
Mengkritisi suatu hal sebelum memahami hakikatnya adalah sesuatu yang tidak logis. Islam sangat melarang kita untuk berbicara tentang sesuatu yang tidak kita ketahui. "Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya" (Qs. Al-Ishra [17]: 36).

3. Menganjurkan umat Islam untuk selalu bersatu dan tidak terpecah-pecah.
Umat Islam selalu mengalami kondisi terjadinya perpecahan selama beberapa abad. Sampai datanglah --pada setiap masa-- para ilmuan yang mengembalikan konsep persatuan yang diajarkan Islam, seperti tertera dalam firman Allah swt.: "Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai" (Qs. Ali Imran [3]: 103).

Adapun untuk kontribusinya yang kedua, paling tidak ada dua hal:
1. Pemahaman akan elastisitas (murunah) syariat Islam.
Dengan metodoginya, as-Sya'rani ingin memperkuat kosep elastisitas syariat Islam. Artinya, syariat Islam tidak terbatas dalam ruang dan waktu.  Ia selalu eksis dan dapat diterapkan di setiap masa dan tempat (Shalihah likulli zamanin wa makanin). Oleh karena itu, dalam fikih Islam ada pendapat yang berat dan ada yang ringan, disesuaikan dengan situasi & kondisi masing-masing individu.

2. Menegaskan bahwa perbedaan antara ahli fikih adalah sebuah karunia yang hakiki.
Seperti yang telah saya sebutkan, bahwa as-Sya'rani berpendapat bahwa perbedaan pendapat yang terjadi antara ahli fikih merupakan sekenario Allah swt. Hal itu merupakan karunia Allah swt kepada umat Islam agar tidak ada kesulitan dalam menjalankan ibadahnya. "Allah swt telah mengetahui bahwa kemaslahatan badan, agama dan dunia bagi hamba yang beriman tertentu, menurut-Nya adalah seperti demikian. Maka Allah swt. menjadikan hal tersebut baginya, sebagai kasih sayang/karunia-Nya bagi hamba-hambanya yang beriman. Sebagaimana (diketahui) Ia (Allah swt.) mengetahui segala macam kondisi, sebelum diciptakan oleh-Nya. Maka seorang mukmin yang sempurna akan mengimani secara lahir dan bathin, bahwa Allah swt. jika tidak mengetahui pada masa lampau (di alam azzali) bahwa yang terbaik menurut-Nya, bagi hamba-hambanya yang beriman adalah memisahkan mereka kepada mazhab-mazhab, maka Ia (Allah swt.) tidak akan menciptakannya (mazhab-mazhab tersebut), serta tak akan dibolehkan bagi mereka menganut mazhab-mazhab tersebut, dan akan menjadikan mereka berada dalam satu perkara saja, tidak diperbolehkan bagi mereka untuk berpaling darinya (perkara yang satu tersebut) kepada yang lain[23]" Demikian tegas as-Sya'rani. Wallahu a'lam b is-Shawab.


(Tulisan ini pernah dimuat di Majalah FenomenA)


[1] Lih: As-Sya'rani, Abdul Wahab, al-Mizan al-Kubra, 1/3, Daar ul-Fikr, Damaskus.
[2] Lih: as-Sya'rani, Abdul Wahab, Lathaif ul-Minan w al-Akhlak fi Wujub it-Tahaduts bi Ni'matillahi 'al al-Ithlaq, H.55, Daar ul-Kutub il-'Ilmiah, Beirut . dan Surur, Abdul Baqi, as-Sya'rani w at-Tasawuf il-Islami, H. 25, Percetakan al-Ulum 162, Jalan al-Khalij, Mesir.
[3] Ibid, H.175.
[4] Ibid, H. 28.
[5] Ibid, H. 55-56.
[6] Lih: al-Qarni, Ali, Abdul Hafidz Furguly, Abd ul-Wahab as-Sya'rani Imam ul-Qarn il-Asyr, H. 34, al-Haiat ul-Mihsriat ul-'Ammah l il-Kuttab, Mesir.  
[7] Lih: Surur, Abdul Baqi, as-Sya'rani w at-Tasawuf il-Islami, H. 14, Percetakan al-Ulum 162, Jalan al-Khalij, Mesir.
[8] Lih: al-Kattani, Abdul Hay bin Abdul Kabir, Fihris ul-Faharis, 2/1079, Daar ul-Gharb il-Islami, Beirut-Lebanon.
[9] Lih: al-Manawi, Abd ur-Rauf, al-Kawakib ud-Durriah, 4/72, al-Maktabat ul-Azhariah l it-Turats, Kairo.
[10] Lih: Mac Donald, Duncan Black, The Religious Attitude and Life in Islam.H.10. Khayats, Beirut .
[11] Lih: Surur, Abdul Baqi, as-Sya'rani w at-Tasawuf il-Islami,., H. 5, Percetakan al-Ulum 162, Jalan al-Khalij, Mesir.  dan Lih: ath-Thawil, Taufiq, DR., as-Sya'rani Imam ut-Tasawuf fi 'Ashrihi, H. 143. Daaru Ihya il-Kutub il-Arabiah.
[12] Lih: As-Sya'rani, Abdul Wahab, al-Mizan al-Kubra, 1/3, Daar ul-Fikr, Damaskus.
[13] Ibid.
[14] Haditsnya berbunyi: "Jika seorang hakim menghukumi perkara dan berijtihad lalu ia benar, maka baginya dua pahala, dan jika menghukumi dan berijtihad lalu salah, maka baginya satu pahala" HR. Bukhori & Muslim.
[15] Op. Cit, 1/17.
[16] Ibid, 1/36.
[17] Lih: al-Khatib, Muhammad Ajjaj, DR., Ushul ul-Hadits, H. 201-202. Daar ul-Fikr, Damaskus.
[18] Lih: al-Qarni, Ali, Abdul Hafidz Furguly, Abd ul-Wahab as-Sya'rani Imam ul-Qarn il-Asyr, H. 130, al-Haiat ul-Mihsriat ul-'Ammah l il-Kuttab, Mesir.   
[19] Op. Cit, 1/4.
[20] Ibid, 1/4-5.
[21] Ibid, 1/6.
[22] Ibid, 1/107
[23]Ibid, 1/6.

Tulisan ini saya dapatkan dari posting-an Ust. Arwany Syairozi, Dokor Maroko asal Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar