Total Tayangan Halaman

Jumat, 05 Juli 2013

الحقول الدلالية (MEDAN MAKNA)

BAB I
PENDAHULUAN
            Ilmu semantik di dalam turats Arab disebut dengan ilmu Dilâlah atau Dalâlah. Kata Dilâlah adalah bentuk derivasi dari kata Dalla-Yadullu-Dilâlah, yang berarti sesuatu yang dijadikan alat untuk mengetahui sesuatu yang lain sebagaimana dipaparkan oleh al-Râgib (W 565 H)[1], misalnya di Indonesia simbol bendera warna kuning menunjukkan akan adanya orang meninggal, simbol bendera berwarna kuning dinamakan al-Dâl, sedangkan adanya orang meninggal dinamakan  al-Madlûl. Objek kajian ilmu ini adalah tentang makna, khususnya makna yang terkaita dengan kata, klausa, dan kalimat. Sebenarnya, Dalam Turats Arab terdapat juga ilmu yang mengkaji tentang hubungan makna dengan kata atau kalaimat, yaitu ilmu al-ma’ânî dalam ilmu Balagah. Agar tidak terjadi tumpang tindih dengan ilmu ma’ânî, maka diberilah nama ilmu al-Dilâlah.[2]
Bangsa Arab, baik dari kalangan linguistnya, Ushûliyûn, manâthiqah telah mengenalistilah ini dan membaginya sesuai versi mereka masing-masing. Misalnya pembagian Dilâlah menurut manâthiqah terbagi menjadi dua, yaitu Dilâlah lafdhziyah dan Dilâlah ghair al-lafhziyah dan keduanya itu terbagi-bagi lagi menjadi Wadh’iyyah, aqliyyah, dan Thabi’iyyah. Berbeda dengan Ibnu Jinni yang membagi Dilâlah al-lafdz menjadi tiga bagian, yaitu al-dilâlah al-lafdziyah, al-dilâlah al-shinâ’iyah, dan al-dilâlah al-ma’nawiyah.[3]
Dalam perkembangannya, ilmu semantik berkembang begitu pesat, sehingga melahirkan beberapa teori yang dikembangkan oleh orang-orang Barat. Salah satu kajian teori semantik yaitu semantik field atau dalam bahasa Arab disebut al-huqûl al-dilâliyah atau disebut juga dengan al-haql al-mu’jami (Lexical field). Walaupun sebenarnya, orang-orang Timur pun sudah terlebih dahulu mengenal semantik field itu dalam bentuk aplikasi, bukan teori. Para pakar semantik Arab modern, seperti Ahmad Mukhtar dalam karyanya ‘ilm al-dilâlah hanya menterjemahkan dari literatur Barat. Penulis menemukan beberapa literatur berbahasa Arab mengenai teori ini dan aplikasinya, diantaranya adalah karya Ahmad Azuz yang penulis unduh dari http://www.awu-dam.org. Di dalam karyanya itu, Azuz membahas tersendiri dalam sub judul mengenai akar teori semantik field dalam literatur linguistik Arab. Selain karya tersebut diatas, penulis menemukan beberapa tulisan-tulisan para pengkaji semantik field, seperti karya Laila Âl Hammad, Mahasiswi Pasca Sarjana Universitas al-Malik Su’ûd Riyad, Relasi semantik field dengan majâz (dalam ilmu Balagah). Di Jurusan Bahasa dan Sastra Arab UIN Syarif Hidayatullah sendiri, penulis temukan skirpsi Muhammad Syarif Hidayatullah, M.Hum, Lc Medan makna kepala Negara.
Dalam makalah ini, penulis akan memaparkan Sejarah singkat wacana teori medan makna baik dalam tradisi literatur Timur maupun Barat. Selain itu Penulis juga akan menyebutkan beberapa manfaat menganalisis sebuah kata dan kalimat melalui teori medan makna ini berikut aplikasinya. Bila membahas medan makna, maka komponen makna pun seperti menjadi satu kesatuan dengan medan makna tersebut, karena diantara keduanya memiliki keterkaitan erat dalam menganalis sebuah kata dalam suatu kelompok. Insyaallah


BAB II
PEMBAHASAN
  1. Pengertian Semantic Field dalam literatur Barat
Sebelum membahas lebih jauh materi ini, pemakalah akan memaparkan perbedaan pendapat seputar Semantic field itui sendiri apakah dia sebuah ilmu, metode, teori atau hanya sekedar pendekatan. Dalam literatur Barat, semantic field dikenal dengan beberapa nama, yaitu Lexical Field, Semantic Space, Semantic Area, Semantic Range, Semantic Class, Semantic Domain, Conceptual Field, Lexical Domain.[4] Dalam literatur Arab sering disebut dengan al-huqûl al-dilâliyah, al-huqûl al-mu’jamiyah, al-majâl al-dilâliyah dan lain sebagainya.[5] Sedangkan dalam bahasa Indonesia disebut dengan medan makna.
Sebagian ahli semantik, seperti Leheur lebih memilih Semantic Field hanyalah sebagai sebuah ittijâh atau muqârabah (Approach) daripada memilih Semantic Field sebagai sebuah metode atau teori. Ia berasalan karena Semantic Field ini belum tersusun rapih secara epistemologi menjadi sebuah teori atau metode.[6] Terlepas dari pendapat apakah semantic field itu adalah teori atau hanya sekedar pendekatan, yang terpenting adalah bagaiamana kita dapat mengaplikasikannya dalam kajian linguistik.
Salah satu patokan utama linguistik abad dua puluh ialah asumsi bahwa bahasa terdiri dari sistem atau satu rangkaian subsistem yang berhubungan. Oleh karena itu, analisis bahasa dipecah atas subsistem fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Hubungan antarunsur dalam subsistem-subsistem itu menentukan nilai dan fungsi masing-masing unsur. Dengan demikian, para linguis pun ingin mencari hubungan antara unsur-unsur dalam sistem semantik sebuah bahasa.[7]
Buah pikir F. de Saussure dan muridnya C. Bally, juga buah pikir dari W. von Humboldt, Weisgerber, dan R.M. Meyer telah menjadi inspirasi utama bagi J.Trier dalam pengembangan Teori Medan Makna. Dalam bukunya tentang istilah-istilah ilmiah bahasa Jerman, Der Deutsche Wortschatz im Sinnbezirk des Verstandes (1891), J. Trier melukiskan Vokabulari sebuah bahasa tersususn rapi dalam medan-medan dan dalam medan itu setiap unsur yang berbeda didefinisikan dan diberi batas yang jelas sehingga tidak ada tumpah tindih antarsesama makna. [8]
Crystal mengemukakan bahwa teori medan makna merupakan pendekatan yang dikembangkan sejak tahun 1930-an. Pendekatan ini, seperti dikemukakan oleh Wedhawati, dipelopori oleh Trier. Hanya saja Trier tidak menggunakan istilah semantic field akan tetapi ia menggunakan istilah wortfeld[9] atau padanan dalam bahasa Arab yang penulis temukan kemungkinan adalah al-haql al-lisânî lî al-‘alâmât.[10]
Ullman mendefinisikan semantic field dengan qithâ’ mutakâmil min al-mâddah al-lugawiyah yu’abbir ‘an majâl mu’ayyan min al-khubrah (bagian yang saling melengkapi dari suatu sistem linguistik yang mengupas sebuah medan tertentu yang masuk dalam kelompok besar sebuah makna) sedangkan Lyons mendefinisikannya dengan majmu’ah juziyyah li mufradât al-lugah (kumpulan bagian sebuah kata atau leksem bahasa).[11]
Perlu diketahui bahwa pembedaan medan makna tidak sama untuk setiap bahasa. Misalnya, bahasa Indonesia membedakan medan makna melihat atas: melirik, mengintip, memandang, meninjau, menatap, melotot, dan sebagaianya.[12]
  1. Akar Teori Semantic Field dalam literatur Linguistik Arab
Semantic field dalam literatur Linguistik Arab disebut dengan al-huqûl al-dilâliyah. Kata al-huqûl sendiri adalah bentuk plural dari kata al-haql. Ibn Mandzur menyebutkan variasi makna al-haql tersebut dari beberapa pakar, diantaranya pendapat Abu ‘Ubaid yang mengatakan bahwa al-haql berarti “tanah yang tidak berair dan tidak berpohon”. Pendapat yang lain lebih menekankan bahwa al-haql itu bukan tanah atau ladangnya, akan tetapi tanaman yang berada diladang, ada yang mendefinisikan al-haql adalah tanaman yang daunnya sudah terlihat hijau.[13]
Terlepas dari definisi diatas, pada awalnya atau hakikatnya kata al-haql digunakan untuk makna yang berkaitan dengan ladang, baik itu buminya atau tanamannya. Yang kemudian kata al-haql tersebut dipinjam oleh ahli linguistik, dalam hal ini ahli semantik, untuk menyebut suatu ilmu semantik sehingga menjadi haqiqah ‘urfiyah.[14]
Secara teoritis tidak dapat dipungkiri bahwa Semantic Field Barat lebih mapan daripada Semantic Field Arab, namun secara praktis mereka lebih dahulu daripada Barat. Hal ini terbukti dalam beberapa karya yang ditorehkan oleh para pakar-pakar Arab klasik, seperti al-Hayawân karya al-Jâhidz (w.255 H), Khalq al-Insân karya al-Ashmu’i (w.216 H), al-maqshûr wa al-mamdûd karya Ibn Duraid (w.321 H), kitâb al-alfâdhz karya Ibn al-Sukait (w.224 H).
            Berikut ini penulis deskripsikan beberapa karya Linguis Arab yang dianggap sebagai karya yang merepsentasikan semantic field.
·         kitâb al-alfâdhz karya Ibn al-Sukait.
Ibn al-Sukait adalah seorang Sastrawan (sekaligus Linguis) yang lahir pada akhir abad ke-2 dan wafat pada awal abad ke-3, tepatnya ialah 186 H - 244 H. Ibn al-Sukait menjabat posisi terhormat sebagai dewan penasehat putra-putra raja, al-Mutawakkil, salah satu Khalifah Abbasiyah. ayahnya bernama Ishaq, seorang yang juga tidak diragukan kemampuan bahasa dan sastranya, ia adalah murid dari pakar nahwa Kufah, al-Kisai. Hal tersebut ditularkan untuk anaknya, Ibn al-Sukait.
Penulis dapatkan kitab al-alfâdhz ini berdasarkan versi yang di tahqîq oleh Fakhruddin Qabawah. Menurutnya, kitab ini dijadikan rujukan metdologis oleh leksikograf dalam menyusun kamus-kamus mereka. Bahkan Ibn Duraid dan al-Anbari menjadikan kitab ini disejajarkan dengan karya yang menjadi rujukan utama, seperti ishlâh al-manthiq karya Ibn al-Sukait sendiri,  adab al-kâtib karya Ibn Qutaibah al-Dinawari (w.276 H), dan al-gharîb al-mushannaf karya Abu ‘Ubaid al-Harawi (w.224 H). Karya ibn al-Sukait ini berupa kamus yang berisi tentang kata-kata yang masuk dalam kelompok kata tertentu dan dibentuk dalam 146 bab.
  1. Bâb al-Ghina wa al-Khashib (Bab tentang kata kekayaan dan kesuburan).
  2. Bâb al-faqr wa al-jadb (Bab tentang kata kefakiran dan kegersangan).
  3. Bâb al-jamâ’ah (Bab tentang kata jamaah).
  4. Bâb al-katâib (Bab tentang kata Batalyon).
  5. Bâb al-ijtimâ’ (Bab tentang kata perkumpulan).
  6. Bâb al-tafarruq (Bab tentang kata perpisahan).
  7. Bâb al-jamâ’ah min al-ibil (Bab tentang kata kelompok onta).
  8. Bâb al-Syuhh (Bab tentang kata pelit). Dan seterusnya.
Salah satu kelompok kata yang penulis teliti diatas adalah Bab pertama Bâb al-Ghina wa al-Khashib dan Bab ke-58 tentang sifat wanita dalam masalah jimâ’ (Bâb shifat al-nisâ’ fî al-jimâ’).
           
كلمة الخصب
كلمة الغنى
الرقم
غضارة
أثرى وثري فلان : إذا كثر ماله  (ثراء،ثروة)
۱
رخاخ
وَفَرَ-ِوَفَرًا يقال إنه لذو وفر أي مال كثير
۲
رفاهية
يقال إنه لذو دثر أي مال كثير
۳
بلهنية
استوثج واستوثن إذا استكثر
٤
رفهنية
ضَفَنَ-يضفَن-ضفوا
٥
الخضم
ضنأ-يضنَأ-ضنئا
٦
القضم
تمشر
۷

أمِرَ-يأْمَرُ-أَمَرٌ
٨

أترب
٩

رغس
۱٠


  1. Analisis Komponensial
Analisis terhadap kata atau leksem atas unsur-unsur makna yang dimilikinya disebut dengan analisis komponen makna atau analisis ciri-ciri makna, atau juga analisis ciri-ciri leksikal.[15] Komponen makna atau komponen semantik mengajarkan bahwa setiap kata atau unsur leksikal terdiri dari satu atau beberapa unsur yang bersama-sama membentuk makna unsur leksikal tersebut. Misalnya kata ayah mengandung komponen makna atau unsur makna : +insan, +dewasa, +jantan dan +kawin. Dan ibu mengandung  komponen makna : +insan, +dewasa, -jantan, dan +kawin.  Sebagaimana dapat di analisis sebagai berikut:
Komponen Makna
Ayah
Ibu
1.      Insan
2.      Dewasa
3.      Jantan
4.      Kawin
+
+
+
+
+
+
-
+

Cara menganalisis di atas ini sudah dipakai dalam laporan penelitian bunyi bahasa. Dalam laporan itu mereka mendeskripsikan bunyi bunyi bahasa dengan menyebutkan ciri-ciri pembeda di antara bunyi yang satu dengan bunyi yang lain. Analisis seperti ini di sebut analisis biner.[16]
Beberapa kelebihan dari analisis biner ini pertama, Dengan analisis biner ini kita dapat menggolong-golongkan kata atau unsur leksikal seperti yang dimaui teori medan makna misalnya :

Benda

                                                  +bernyawa                                    -bernyawa
               + hewan                                                      -hewan
Berkaki empat                             -berkaki empat
                     
Analisis biner ini juga di gunakan untuk mencari perbedaan semantik kata-kata yang memilik keterkaitan sinonimi, antonimi dan lain-lain. Misalnya kata-kata kandang, pondok, rumah, istana, keraton dan wisma. Keenam kata tersebut dapat di anggap bersinonim dengan makna dasar atau makna denotatif tempat tinggal atau tempat kediaman.
Ciri
kandang
pondok
rumah
istana
keraton
wisma
Manusia
-
+
+
+
+
+
jelata
+
+
-
-
-
-
umum

+
-
+
-
-
Kepala negara



+
+
-
raja



-
+


Dalam Tesisnya, M.Abdurrahman al-Zamil, ia menulis tentang kelompok kata yang masuk dalam kategori akhlak, al-fadhz al-akhlaq fî shahîh al-Imam al-Bukhâri. Sekitar 14 lebih kata yang masuk dalam golongan kelompok kata akhlak. Berikut salah satu kata yang diteliti olehnya, yaitu kata-kata yang masuk dalam medan makna al-shilah (menyambung tali persaudaraan) :

Jumat, 10 Mei 2013

Pro dan Kontra Konsep ‘Adâlah Sahabat


Oleh : Ibnu Harish & Aceng Umar Fahmi
I.                   Pendahuluan.
Kritik hadis, baik matan maupun sanad, telah lahir semenjak masa Nabi, walaupun dalam lingkup terbatas. Hal ini karena Nabi sendiri pada waktu masih hidup, hingga para sahabat dapat langsung mengkonfirmasi suatu kejadian yang janggal mengenai hadis dan para sahabat pun tidak mungkin mendustai Nabi saw. Salah satu contoh kritik hadis pada masa Nabi yaitu berita bahwa Nabi telah menceraikan istri-istrinya. Berita ini Umar dapatkan dari tetangganya, seorang Anshar dari keluarga Umayah bin Zaid. Tentu Umar merasa kaget, karena salah satu istri Nabi adalah putrinya, Hafsah, dan Umar pun tidak langsung mempercayai begitu saja orang itu. Ternyata setelah Umar konfirmasi langsung kepada Nabi, Ia hanya bersumpah tidak akan menggauli istri-istrinya selama satu bulan (sumpah îlâ’), bukan mentalak mereka. Setelah mendengarkan konfirmasi itu Umar pun merasa tenang.

Definisi kritik (naqd) menurut ahli hadis sendiri adalah suatu metode yang dapat membedakan mana hadis yang sahih dan tidak, dan menelaah ketsiqatan dan tidaknya (jarh) perawi hadis.[1] Ketika kita hendak meneliti kevalidan atau tidaknya sebuah hadis, tentu terlebih dahulu yang akan kita teliti adalah sanadnya. Sanad itu sendiri terdiri dari beberapa rawi, seorang sahabat yang meriwayatkan hadis akan menjadi rawi pertama. Sementara rawi terakhir – misalnya al-Bukhari – akan bertindak sebagai kolektor (penghimpun) hadis. Dari rawi pertama sampai rawi terakhir, jumlah rawi-rawi itu umumnya berkisar antara lima sampai tujuh orang, tergantung siapa yang bertindak menjadi kolektor. Semakin jauh masa hidup kolektor semakin banyak pula jumlah rawi yang mentarnsmisikan hadis kepadanya.[2]   

Dari semua rawi dalam jajaran sanad tersebut harus kita teliti satu persatu mengenai kredibilitasnya, kecuali para sahabat. Alasannya, kredibilitas para sahabat sebagai penerima dan penyampai hadis kepada generasi berikutnya sudah dijamin langsung oleh Allah maupun Rasul-Nya. Yang Insyallah akan dipaparkan dalilnya satu persatu. Ini, tentang tidak perlunya meneliti kredibilitas sahabat, adalah pendapat ahli sunnah wal jama’ah, mereka berpendapat bahwa kullu shahabahudûl. Kelompok Khawarij, Syi’ah, dan Mu’tazilah, tidak mempercayai konsep ini, terlebih, kata mereka, setelah terjadinya fitnah yang terjadi di masa Ustman. Mayoritas Mu’tazilah berpendapat bahwa para sahabat yang memerangi Ali sebagai khalifah pengganti Utsman dikatakan fasik, tidak diterima periwayatannya dan persaksiannya karena telah keluar dari pemerintahan yang sah.[3] Bahkan pendapat mengenai tidak semuanya sahabat itu adil dilanjutkan oleh Thaha Husein, Ahmad Amin dan Abu Rayyah.

II.                Definisi dan Kriteria konsep ‘Adâlah
Ulama Hadis mendefiniskan kata ‘Adâlah dengan arti suatu kebiasaan (malakah) yang membuat seseorang selalu bertakwa dan menjaga  muruahnya.[4] Ada kriteria tersendiri bagi Seseorang yang diberi titel  ‘Adâlah, yaitu islam, balig, berakal, terbebas dari perbuatan fasik[5], dan menjaga      muruah.[6]Dua syarat yang pertama yaitu islam dan balig bukan lah syarat utama bagi seorang rawi yang hendak mengaji hadis akan tetapi kedua syarat pertama diatas itu bagi perawi yang ingin menyampaikan hadis (dari gurunya) kepada murid, jadi apabila ada rawi yang pernah mendengar (mengaji) hadis dalam keadaan kafir atau masih kecil itu dibenarkan menurut para ahli hadis, tapi ketika ia hendak menyampaikan hadis tersebut nantinya, dia harus dalam keadaan muslim dan balig.

Sebagian para sahabat pun mengalami hal seperti tersebut diatas, sebelum masuk Islam mereka pernah mendapat hadis dari Nabi, dan ketika hendak menyampaikan mereka telah masuk islam.[7] Jubair bin Muth’im Salah satunya, ia adalah sahabat yang pernah mendengar hadis Nabi ketika ia masih dalam keadaan kafir, ia pernah mendengar hadis bahwa Nabi membaca surat al-Thûr ketika, ketika itu kondisnya sebagai tawanan perang Badar, bahkan dalam riwayat al-Bukhari disebutkan bahwa surat al-Thûr yang ia dengarkan itu membuat hatinya bergetar, hingga beriman.[8] Ia masuk islam sebelum terjadinya perang Khaibar, tapi riwayat lain menyebutkan bahwa ia masuk islam ketika fath mekah.[9] Selain dua kriteria diatas ada dua kriteria yang tersisa, yaitu berakal dan terbebas dari perbuatan fasik serta yang menurunkan muruah.Jadi ketika seorang perawi itu masih kecil yang mumayiz, maka ia diperkenankan tahammul hadis. Berbeda halnya dengan anak kecil yang belum mumayiz, ia tidak diperkenankan tahammul. Adapun kriteria terakhir, yaitu terlepas dari faktor fasik, hanya terdapat pada lahiriah seorang rawi saja.[10] Dalam mentakhrij hadis kita harus meneliti kriteria ’adâlah setiap rawi yang ada dalam sanad hadis yang di takhrij, kecuali sahabat, karena sahabat sudah dipastikan adil. Hal tersebut berdasarkan dalil al-quran, hadis dan Ijma’ muhadditsîn.