Oleh : Ibnu
Harish el-ahmadie[1]
PENDAHULUAN
Kajian
sanad termasuk sebuah kajian baru yang belum pernah dijadikan suatu ilmu
tersendiri sebelumnya.Sanad itu sendiri bagian dari warisan Ulama-ulama Islam,
yang tidak dimiliki oleh
pemeluk agama lain.Isi sanad hanya mencakup dua kajian, yaitu perawi (orang
yang meriwayatkan ) dan shîgat tahdîts (Term
penyampaian hadits).
Pada
kesempatan kali ini, penulis berupaya memaparkan sekelumit salah satu dari
kedua bagian kajian sanad tersebut,
yaitu shîgat tahdits.Lantas pertanyaannya adalah, apa urgensi kita
mempelajari materi tersebut?.Dalam kajian hadits terdapat kajian
tersendiri mengenai mukhtalaf al-hadits, yaitu adanya dua hadits atau
lebih yang bertentangan maknanya
satu sama lain secara eksplisit.Tugas pengkaji hadits dalam masalah ini
adalah men-jama’
(mengkompromikan) dua hadits yang bertentangan
itu, atau mentarjih (menguatkan salah
satunya).Ketika
pengkaji hadits dapat menjama’ (mengkompromikan) dua hadits yang bertentangan tersebut, maka jelas-lah masalah tersebut, walaupun memang
butuh kemampuan lebih dalam menjama’ dua hadits tersebut.
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana
jika metode jama’ seperti yang telah disebutkan di atas tak dapat
membuahkan solusi?, jawabnya adalah tarjih.Kata tarjih adalah bahasa
serapan dari bahasa arab yang berarti memilih pendapat yang dalihnya paling
kuat di antara yang telah ada.[2]Menurut Imam al-Suyûthi, ada tujuh metode yang dapat
dijadikan sebagai pisau analisa dalam mentarjih dua hadits yang
bertentangan tersebut.Salah satu ketujuh metode itu berkaitan dengan makalah
kali ini, yaitu tahammul al-hadits (metode penerimaan dan penyebaran hadits)
yang seluruhnya ada delapan metode[3].Kedelapan
metode tersebut memliki karakteristik masing-masing dengan menggunakan shîgat
tertentu diamana metode pertama lebih unggul dari metode kedua dan
seterusnya.
Dengan mengetahui kedelapan metode
tesebut beserta shîgat-nya, barulah kita dapat mentarjih kedua
hadits yang bertentangan itu.Dalam tulisan kali ini, penulis tidak akan
memaparkan keseluruhan shîgat tahdîts yang digunakan dalam tradisi Ulama hadits.Hanya
poin-poin terntu saja yang menurut penulis “layak” dimasukkan dalam
tulisan ini.
Semoga tulisan ini, dapat bermanfaat
untuk penulis pribadi secara khusus dan untuk mereka para pengkaji hadits secara
umum, sehingga tulisan ini menjadi amal baik penulis kelak di hari manusia
bertemu dengan Tuhannya.Amin
PEMBAHASAN
- Metode Penyebaran Hadits
Sejak dini kita tahu bagaimana Nabi SAW. mengajarkan dan menyampaikan hadits,
sunah-nya kepada para Sahabat.Sebagai murid langsung dari Nabi SAW., Sahabat memiliki posisi istimewa
untuk menyampaikan apa yang Nabi ajarkan pada mereka. Pada priode Sahabat,
hanya dua metode yang digunakan, yaitu samâ’ dan ‘ard yang di gunakan secara
umum pada waktu itu.Para murid tinggal bersama gurunya, mereka mengabdi dan
belajar langsung pada gurunya.Ketika gurunya menyampaiakan suatu hadits, murid
langsung menulis atau menghafal hadits itu.Dari perbedaan metode penyampaian
hadits yang berbeda ini lahir pulalah terminologi tertentu yang
membedakan satu dengan lainnya, insyaAllah
akan di bahas kemudian.Fokus pembahasan makalah ini lebih menitikberatkan hanya
pada terminologi penyampaian hadits bukan pada metode penyampaiannya,
akan tetapi agar lebih melengkapi tulisan ini, saya rasa tak ada salahnya bila
di sertakan pula metode penyebaran hadits yang telah berkembang di
kalangan ahli hadits.
Setelah Islam menyebar keberbagai
daerah di Jazirah Arab, ada inovasi-inovasi baru mengenai metode penyebaran hadits.Di
berbagai referensi ilmu hadits, tercatat delapan metode penyebaran hadits
yang digunakan oleh ahli hadits :
1.
Samâ’ : Seorang murid mendengar hadits dari redaksi seorang
guru.
2.
‘Ard atau
Qira’ah : Seorang murid
membacakan hadits pada seorang Guru.
3. Ijâzah
: Memberi Lisensi pada seseorang untuk menyebarkan hadits atau kitab di bawah otoritas
seorang Guru.
4.
Munâwalah : Penyerahan materi hadits atau
sebuah tulisan dari seorang guru
pada muridnya untuk disebar luaskan.
5.
Kitâbah
: Seorang guru menuliskan hadits untuk
para muridnya.
6.
I‘lâm : Seorang guru hadits memberitahukan hadits atau kitab kepada muridnya bahwa ia telah mendapatkan lisensi
meriwayatkan hadits itu.
7. Washiyyah :
Seorang guru mempercayakan muridnya untuk
meriwayatkan kitabnya.
8. Wajâdah :
Menemukan kitab atau hadits yang di tulis seseorang dalam bentuk manuskrip yang tersimpan
di perpustakaan tertentu atau diamanapun berada.[4]
- Inovasi Terminologi Penyampaian Hadits (shîghat tahdits) era Mutaqaddimîn.
Sebagaimana telah disebutkan di atas
bahwa pada masa Sahabat atau Ulama mutaqaddimîn tradisi pembedaan
terminologi penyampaian hadist belum begitu populer, seperti haddatsanî
terminologi yang di gunakan ketika perawi mendapatkan hadits dari
gurunya dengan cara mendengarkan, akhbaranî terminologi yang di gunakan
perawi ketika ia mendapatkan hadits dari gurunya dengan metode qirâ’ah,
dan seterusnya.Walaupun beberapa Ulama mutaqaddimîn sendiri ada yang
membedakan istilah tersebut.
Abu
‘Isâ al-Tirmidzî, al-Bukhari termasuk Ulama yang tidak membedakan terminologi
tersebut.Lebih jelas, al-Bukhari
(w.256
H) dalam kitab sahih-nya
menuturkan dari al-Humaidi(w.219 H), “Ibn ‘Uyainah(w.198 H) tidak membedakan terminologi haddatsanâ,
akhbaranâ, anba’anâ, sami’tu.” Pernyataan al-Bukhari ini dikomentari oleh Al-Hâfidz Ibn Hajar (w.852), “Al-Bukhâri hanya menyebutkan pendapat Ibn Uyainah bukan
pendapat lainnya mengindikasikan bahwa ia hanya memilih pendapat yang tidak
membedakan antara terminologi di atas; karena beberapa Ulama mutaqaddimîn yang semasa dengan al-Bukhari ada
yang membedakan istilah-istilah di atas, seperti al-Syâfi‘I
(w.204 H), Muslim ibn al-Hajjâj (w.261 H)dan lainnya.Al-Bukhâri menguatkan pendapatnya itu
berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ibn ‘Umar ;
حدثنا قتيبة بن سعيد حدثنا إسماعيل بن جعفر
عن عبد الله بن دينار عن ابن عمر قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : "إن
من الشجرة شجرة لا يسقط ورقها، وإنها مثل المسلم، فحدثوني ما هي؟" فوقع
الناس في شجر البوادي، قال عبد الله : ووقع في نفسي أنها النخلة، فاستحييت، ثم
قالوا : حدثنا ما هي يا رسول الله؟ قال : "هي النخلة".[5]
Rasulullah bersabda : “Ada Sebatang
pohon yang daunya tidak berguguran, pohon itu persis seperti seorang Muslim,
maka ceritakanlah padaku(Hadditsûnî), apa pohon itu?.Pada waktu itu, Sahabat berada di
padang sahara yang terdapat sebatang pohon.Abdullah ibn ‘Umar sebenarnya sudah
jawaban pertanyaan Nabi, dalam hati kecilnya Abdullah berbicara, “pasti pohon
tersebut adalah pohon kurma, tapi aku malu menjawabnya”, ya Rasul, pohon apakah
itu?, kata Sahabat.Rasul pun menjawab,
pohon kurma.”
Pada
kata ceritakan (sebutkan) padaku dalam hadits tersebut terdapat
tiga redaksi yang berbeda yaitu : Hadditsûnî, Akhbirûnî, dan Anbi’ûnî, .
Redaksi
حدثوني di riwayatkan
dari Abdullah ibn dînar, أخبروني dan أنبؤنيdi riwayatkan dari Nâfi’.[6].Dari
berbagai informasi yang saya baca, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan
pendapat diantara ulama seputar tiga shîgat diatas sebagai berikut :
- Pada masa awal Islam shîgat penyampaian hadits yang digunakan sekitar dua saja, yaitu dengan shîgat tahdîts (حدثنا) dan shîgat ikhbâr (أخبرنا).Sebagian Ulama tidak membedakan terminology shîgat-shîgat tahdits tersebut, seperti al-Bukhâri, al-Tirmidzi,.al-Qadhli ‘Iyadh (w.544 H) berpendapat bahwa dalam metode samâ’ perawi dapat menggunakanحدثنا، أخبرنا، أنبأنا، سمعته ، وقال لنا فلان، ذكر لنا فلان. dan pendapat ini diamini oleh al-Thahawi.
- Ketika murid (rawi) membacakan hadits di hadapan guru, bukan dengan metode samâ’, menurut madzhab mutakallimîn boleh menggunakan shîgat tahdîs dan ikhbâr yang di batasi dengan kata-kata qirâ’ah seperti, حَدثنَا فلَان قِرَاءَة عَلَيْهِ، وَأخْبرنَا قِرَاءَة عَلَيْه.
- Ketika menggunakan metode seperti diatas, murid membacakan hadits dihadapan guru, menurut madzhab al-Syafi’i serta para ashhâb-nya, Muslim, al-Nasâ’i hanya dapat menggunakan shîgat أخبرنا, tidak di boleh menggunakan حدثنا.[7]
C . Shîgat tahdîts era
Muta’akhirîn
Inovasi shîgat tahdits di masa
Ulama salaf tidak begitu kompleks dan belum terlihat urgensi yang signifikan
atas pembedaaan shigat tahdîts yang lahir pada era Muta’akhirîn.Menurut
Ibn Hajar, pembedaan shîgat yang ada pada masa Mutaqaddîn bukan bersifat
teoritis hanya sekedar perbedaan pemahaman lughawi yang sifatnya anjuran
saja.Berbeda halnya yang terjadi pada era Muta’akhirîn, metode
penyampaian hadits tidak hanya dengan samâ’ dan qira’ah semata,
melainkan telah berkembang menjadi delapan, hal ini menyebabkan terjadinya
variatif shîgat tahdits.
Pada masa Ulama salaf tidak ada perbedaan
antara si perawi (murid) sendirian ketika mengaji dengan gurunya atau bersamaan
dengan orang lain, mereka menggunakan shîgat حدثنا
atauأخبرنا ,
sedangkan Ulama khalaf menggunkan حدثنا apabila si rawi ketika mendengarkan
hadits bersama dengan orang banyak.Kemudian shîgat حدثني digunakan bagi rawi yang mendengarkan hadits dari
gurunya dan ia hanya seorang diri.begitupun seterusnya pada shîgat- shîgat yang
lain.[8]
Pada masa inilah kedelapan
metode tersebut memeiliki shîgat tersendiri yang memiliki tradisinya
masing-masing dan urutan berbeda yang berpengaruh pada kualitas sanad.Urutan kedelapan metode beserta shigat-nya tersebut
adalah sebagai berikut ini:
1.
Metode samâ’.
shîgat tahdîts yang di gunakan adalah قال
لي،ذكر لي،سمعت،حدثني apabila seorang rawi sendirian
ketika mengaji dengan gurunya dan apabila perawi lebih dari satu ketika mengaji
dengan gurunya maka perawi menggunakan kata سمعنا،
حدثنا،قال لنا، ذكر لنا.[9]
2.
Metode qirâ’ah.
3. Metode
Ijâzah.
4. Metode
Munâwalah.
5. Metode Kitâbah.
6. Metode
I’lâm.
7. Metode
Washiyat
8. Metode
Wijâdah.
Shîgat
yang
digunakan ialah وجدت بخط فلان، قرأت بخط فلان كذا, setelah menyampaikan ini ia menampilkan sanad dan matan hadits
yang ia temukan itu.[16]
KESIMPULAN
Kajian sanad hanya tertuju pada dua
objek yaitu, penelitian terhadap sosok rawi dengan metode jarh wa ta’dîl dan
penelitian terhadap shîgat tahdist atau yang lebih di kenal dengan
istilah alfâdhz al-adâ’.Apabila kita perhatikan dalam ilmu mushtalah hadits,
banyak ragam lafal adâ’ yang digunakan oleh ulama hadits di
era Mutaakhirîn yang satu dengan lainnya berbeda kualitasnya.Berbeda
halnya yang terjadi pada masa Ulama salaf, hanya ada dua shîgat tahdits
yang masyhur yaitu, حدثنا atauأخبرنا
.Pembedaan shigat tahdits yang di pelopori Ulama Mutakhirîn berguna
ketika terjadi perbedaan antara dua matan hadits.Sanad yang dinyatakan
lebih kuat kualitas shîgat-nya maka matan hadits itulah yang didahulukna
dari hadits lainnya.
Daftar Pustaka
Ahmad,
Ibn Hajar, fath
al-Bâri syarh Shahîh al-Bukhâri, Beirut
: Dar la-Ma’rifat, 1379 H.
M.M.Azami,
Studies In Hadith Metodology And Literature, Islamic Teaching Center
Indianapolis, Indiana M.S.A. of U.S. and Canada, tth.
Abdurrahman,
al-Suyuthi, tadrib al-Rawi, Beirut : Dar al-Fikr, 2006.
Mahmud, ‘Umdah al-Qari syarh
shahi al-Bukhari, Beirut
: Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi,
tth.
al-Bukhari,
Jami’ al-Shahih al-Bukhari, Dar al-Hadits, Cairo, 2004.
Tim
penyususun kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,
2002
Mahmud, al-Thahân, Taisîr
Mushtalah al-hadîts, Dar- al-kutub al-islâmiyah, Jakarta, tth.
[1]
.Penulis adalah Mahasantri Darus-Sunnah,
International Institute for Hadits Sciences Indonesia semester IV, selain itu penulis juga sembari nyantri di
Sastra Arab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada semester yang sama.
[2]
.Tim penyususun kamus, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2002, hlm 1145.
[3] .’Abdurrahman al-Suyuthi, tadrib
al-Rawi, Dar al-Fikr, Beirut, 2006, hlm 368.
[4]
.M.Azami, Studies In Hadith
Metodology And Literature, Islamic Teaching Center Indianapolis, Indiana
M.S.A. of U.S. and Canada, tth, hlm 16.
[5]
.al-Bukhari, Jami’
al-Shahih al-Bukhari, Dar al-Hadits, Cairo, 2004, juz 1,
hlm 49.Hadits
ini di riwayatkan juga oleh, Ahmad ibn Hambal, Muslim, al-Darimi.
[6] .Badr al-Din, Mahmud, ‘Umdah
al-Qari syarh shahi al-Bukhari, Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, Beirut, juz
2, hlm 13.باب قول المحدث، حدثنا، وأنبأنا، وأخبرنا.
[7]
.ibid, hlm 11.
[8]
.Ibn Hajar, fath al-Bâri syarh Shahîh al-Bukhâri, Dar al-Ma’rifat,
Beirut, juz 1, hlm 144.
[9]
.Mahmud al-Thahân, Taisîr Mushthalah al-hadits, Dar al-kutub
al-Islamiyah, Jakarta, hlm 133
[10]
.ibid, hlm 133-134
[11]
.ibid, hlm 134
[12]
.ibid, hlm 134
[13]
.ibid, hlm 135
[14]
.ibid, hlm 136
[15]
.ibid, hlm 137
[16]
. .ibid, hlm 137
Tidak ada komentar:
Posting Komentar