Total Tayangan Halaman

Sabtu, 05 Mei 2012

Pengaruh Shîgat tahdîts dalam Penilaian Kualitas Sanad


Oleh : Ibnu Harish el-ahmadie[1]
PENDAHULUAN
            Kajian sanad termasuk sebuah kajian baru yang belum pernah dijadikan suatu ilmu tersendiri sebelumnya.Sanad itu sendiri bagian dari warisan Ulama-ulama Islam, yang tidak dimiliki oleh pemeluk agama lain.Isi sanad hanya mencakup dua kajian, yaitu perawi (orang yang meriwayatkan ) dan shîgat tahdîts (Term penyampaian hadits).
            Pada kesempatan kali ini, penulis berupaya memaparkan sekelumit salah satu dari kedua bagian  kajian sanad tersebut, yaitu shîgat tahdits.Lantas pertanyaannya adalah, apa urgensi kita mempelajari materi tersebut?.Dalam kajian hadits terdapat kajian tersendiri mengenai mukhtalaf al-hadits, yaitu adanya dua hadits atau lebih yang bertentangan maknanya satu sama lain secara eksplisit.Tugas pengkaji hadits dalam masalah ini adalah men-jama’ (mengkompromikan) dua hadits yang bertentangan itu, atau mentarjih (menguatkan salah satunya).Ketika pengkaji hadits dapat menjama’ (mengkompromikan) dua hadits yang bertentangan tersebut, maka jelas-lah masalah tersebut, walaupun memang butuh kemampuan lebih dalam menjama’ dua hadits tersebut.
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana jika metode jama’ seperti yang telah disebutkan di atas tak dapat membuahkan solusi?, jawabnya adalah tarjih.Kata tarjih adalah bahasa serapan dari bahasa arab yang berarti memilih pendapat yang dalihnya paling kuat di antara yang telah ada.[2]Menurut Imam al-Suyûthi, ada tujuh metode yang dapat dijadikan sebagai pisau analisa dalam mentarjih dua hadits yang bertentangan tersebut.Salah satu ketujuh metode itu berkaitan dengan makalah kali ini, yaitu tahammul al-hadits (metode penerimaan dan penyebaran hadits) yang seluruhnya ada delapan metode[3].Kedelapan metode tersebut memliki karakteristik masing-masing dengan menggunakan shîgat tertentu diamana metode pertama lebih unggul dari metode kedua dan seterusnya.
Dengan mengetahui kedelapan metode tesebut beserta shîgat-nya, barulah kita dapat mentarjih kedua hadits yang bertentangan itu.Dalam tulisan kali ini, penulis tidak akan memaparkan keseluruhan shîgat tahts yang digunakan dalam tradisi Ulama hadits.Hanya poin-poin terntu saja yang menurut penulis “layak” dimasukkan dalam tulisan ini.
Semoga tulisan ini, dapat bermanfaat untuk penulis pribadi secara khusus dan untuk mereka para pengkaji hadits secara umum, sehingga tulisan ini menjadi amal baik penulis kelak di hari manusia bertemu dengan Tuhannya.Amin

PEMBAHASAN
  1. Metode Penyebaran Hadits
Sejak dini kita tahu bagaimana Nabi SAW. mengajarkan dan menyampaikan hadits, sunah-nya kepada para Sahabat.Sebagai murid langsung dari Nabi SAW., Sahabat memiliki posisi istimewa untuk menyampaikan apa yang Nabi ajarkan pada mereka. Pada priode Sahabat, hanya dua metode yang digunakan, yaitu samâ’ dan ‘ard yang di gunakan secara umum pada waktu itu.Para murid tinggal bersama gurunya, mereka mengabdi dan belajar langsung pada gurunya.Ketika gurunya menyampaiakan suatu hadits, murid langsung menulis atau menghafal hadits itu.Dari perbedaan metode penyampaian hadits yang berbeda ini lahir pulalah terminologi tertentu yang membedakan satu dengan lainnya, insyaAllah akan di bahas kemudian.Fokus pembahasan makalah ini lebih menitikberatkan hanya pada terminologi penyampaian hadits bukan pada metode penyampaiannya, akan tetapi agar lebih melengkapi tulisan ini, saya rasa tak ada salahnya bila di sertakan pula metode penyebaran hadits yang telah berkembang di kalangan ahli hadits.
Setelah Islam menyebar keberbagai daerah di Jazirah Arab, ada inovasi-inovasi baru mengenai metode penyebaran hadits.Di berbagai referensi ilmu hadits, tercatat delapan metode penyebaran hadits yang digunakan oleh ahli hadits :
1.      Samâ’                    : Seorang murid mendengar hadits dari redaksi                                                                    seorang guru.

2.      ‘Ard atau Qira’ah : Seorang murid membacakan hadits pada seorang Guru.

3. Ijâzah                       : Memberi Lisensi pada seseorang untuk menyebarkan                                                     hadits atau kitab di bawah otoritas seorang Guru.

4. Munâwalah    : Penyerahan materi hadits atau sebuah tulisan dari seorang                                    guru  pada muridnya untuk disebar luaskan.

5.      Kitâbah                 : Seorang guru menuliskan hadits untuk para muridnya.

6.    I‘lâm            :         Seorang guru hadits memberitahukan hadits atau kitab                                  kepada muridnya bahwa ia  telah mendapatkan lisensi  
                                      meriwayatkan hadits itu.

7.  Washiyyah    : Seorang guru mempercayakan muridnya untuk                                            meriwayatkan kitabnya.

8.      Wajâdah                      : Menemukan kitab atau hadits yang di tulis seseorang                                         dalam bentuk manuskrip yang tersimpan   di perpustakaan tertentu atau  diamanapun berada.[4]

  1. Inovasi Terminologi Penyampaian Hadits (shîghat tahdits) era Mutaqaddimîn.
Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa pada masa Sahabat atau Ulama mutaqaddimîn tradisi pembedaan terminologi penyampaian hadist belum begitu populer, seperti haddatsanî terminologi yang di gunakan ketika perawi mendapatkan hadits dari gurunya dengan cara mendengarkan, akhbaranî terminologi yang di gunakan perawi ketika ia mendapatkan hadits dari gurunya dengan metode qirâ’ah, dan seterusnya.Walaupun beberapa Ulama mutaqaddimîn sendiri ada yang membedakan istilah tersebut.

Abu ‘Isâ al-Tirmidzî, al-Bukhari termasuk Ulama yang tidak membedakan terminologi tersebut.Lebih jelas, al-Bukhari (w.256 H) dalam kitab sahih-nya menuturkan dari al-Humaidi(w.219 H), “Ibn ‘Uyainah(w.198 H) tidak membedakan terminologi haddatsanâ, akhbaranâ, anba’anâ, sami’tu.” Pernyataan al-Bukhari ini dikomentari oleh Al-Hâfidz Ibn Hajar (w.852), “Al-Bukhâri hanya menyebutkan pendapat Ibn Uyainah bukan pendapat lainnya mengindikasikan bahwa ia hanya memilih pendapat yang tidak membedakan antara terminologi di atas; karena beberapa Ulama mutaqaddimîn yang semasa dengan al-Bukhari ada yang membedakan istilah-istilah di atas, seperti al-SyâfiI (w.204 H), Muslim ibn al-Hajjâj (w.261 H)dan lainnya.Al-Bukhâri menguatkan pendapatnya itu berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ibn ‘Umar ;
حدثنا قتيبة بن سعيد حدثنا إسماعيل بن جعفر عن عبد الله بن دينار عن ابن عمر قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : "إن من الشجرة شجرة لا يسقط ورقها، وإنها مثل المسلم، فحدثوني ما هي؟" فوقع الناس في شجر البوادي، قال عبد الله : ووقع في نفسي أنها النخلة، فاستحييت، ثم قالوا : حدثنا ما هي يا رسول الله؟ قال : "هي النخلة".[5]

Rasulullah bersabda : “Ada Sebatang pohon yang daunya tidak berguguran, pohon itu persis seperti seorang Muslim, maka ceritakanlah padaku(Hadditsûnî), apa pohon itu?.Pada waktu itu, Sahabat berada di padang sahara yang terdapat sebatang pohon.Abdullah ibn ‘Umar sebenarnya sudah jawaban pertanyaan Nabi, dalam hati kecilnya Abdullah berbicara, “pasti pohon tersebut adalah pohon kurma, tapi aku malu menjawabnya”, ya Rasul, pohon apakah itu?, kata  Sahabat.Rasul pun menjawab, pohon kurma.”
Pada kata ceritakan (sebutkan) padaku dalam hadits tersebut terdapat tiga redaksi yang berbeda yaitu : Hadditsûnî, Akhbirûnî, dan Anbi’ûnî, .
Redaksi حدثوني di riwayatkan dari Abdullah ibn nar, أخبروني dan  أنبؤنيdi riwayatkan dari Nâfi’.[6].Dari berbagai informasi yang saya baca, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan pendapat diantara ulama seputar tiga shîgat diatas sebagai berikut :

  • Pada masa awal Islam shîgat penyampaian hadits yang digunakan sekitar dua saja, yaitu dengan shîgat tahdîts (حدثنا) dan shîgat ikhbâr (أخبرنا).Sebagian Ulama tidak membedakan terminology shîgat-shîgat tahdits tersebut, seperti al-Bukhâri, al-Tirmidzi,.al-Qadhli ‘Iyadh (w.544 H) berpendapat bahwa dalam metode samâ’ perawi dapat menggunakanحدثنا، أخبرنا، أنبأنا، سمعته         ، وقال لنا فلان، ذكر لنا فلان. dan pendapat ini diamini oleh al-Thahawi.
  • Ketika murid (rawi) membacakan hadits di hadapan guru, bukan dengan metode samâ’, menurut madzhab mutakallimîn boleh menggunakan shîgat tahdîs dan ikhbâr yang di batasi dengan kata-kata qirâ’ah seperti, حَدثنَا فلَان قِرَاءَة عَلَيْهِ، وَأخْبرنَا قِرَاءَة عَلَيْه.
  • Ketika menggunakan metode seperti diatas, murid membacakan hadits dihadapan guru, menurut madzhab al-Syafi’i serta para ashhâb-nya, Muslim, al-Nasâ’i hanya dapat menggunakan shîgat أخبرنا, tidak di boleh menggunakan حدثنا.[7]
 C .    Shîgat tahdîts era Muta’akhirîn

Inovasi shîgat tahdits di masa Ulama salaf tidak begitu kompleks dan belum terlihat urgensi yang signifikan atas pembedaaan shigat tahdîts yang lahir pada era Muta’akhirîn.Menurut Ibn Hajar, pembedaan shîgat yang ada pada masa Mutaqaddîn bukan bersifat teoritis hanya sekedar perbedaan pemahaman lughawi yang sifatnya anjuran saja.Berbeda halnya yang terjadi pada era Muta’akhirîn, metode penyampaian hadits tidak hanya dengan samâ’ dan qira’ah semata, melainkan telah berkembang menjadi delapan, hal ini menyebabkan terjadinya variatif shîgat tahdits.
Pada masa Ulama salaf tidak ada perbedaan antara si perawi (murid) sendirian ketika mengaji dengan gurunya atau bersamaan dengan orang lain, mereka menggunakan shîgat حدثنا atauأخبرنا , sedangkan Ulama khalaf menggunkan حدثنا apabila si rawi ketika mendengarkan hadits bersama dengan orang banyak.Kemudian shîgat حدثني digunakan bagi rawi yang mendengarkan hadits dari gurunya dan ia hanya seorang diri.begitupun seterusnya pada shîgat- shîgat yang lain.[8]
Pada masa inilah kedelapan metode tersebut memeiliki shîgat tersendiri yang memiliki tradisinya masing-masing dan urutan berbeda yang berpengaruh pada kualitas sanad.Urutan kedelapan metode beserta shigat-nya tersebut adalah sebagai berikut ini:

1.      Metode samâ’.
shîgat tahdîts yang di gunakan adalah قال لي،ذكر لي،سمعت،حدثني apabila seorang rawi sendirian ketika mengaji dengan gurunya dan apabila perawi lebih dari satu ketika mengaji dengan gurunya maka perawi menggunakan kata سمعنا، حدثنا،قال لنا، ذكر لنا.[9]
2.      Metode qirâ’ah.
Shîgat tahdits yang digunakan قرأت على فلان، قريء عليه وأنا أسمع به فأقربه.[10]
3.      Metode Ijâzah.
Shîgat tahdîts yang digunakan أجاز لي فلان، حدثنا إجازة، أخبرنا إجازة، أنبأنا.[11]
4.      Metode Munâwalah.
Shîgat tahdîts yang digunakan ناولني، حدثنا مناولة، أخبرنا مناولة.[12]
5.      Metode Kitâbah.
Shîgat yang digunakan adalah كتب إليّ فلان، حدثني فلان كتابة، أخبرني فلان كتابة.[13]
6.      Metode I’lâm.
Shîgat yang digunakan adalah أعلمني شيخي بكذا.[14]
7.      Metode Washiyat
Shîgat yang digunakan ialah أوصى إليّ فلان بكذا، حدثني فلان وصية.[15]
8.      Metode Wijâdah.
Shîgat yang digunakan ialah وجدت بخط فلان، قرأت بخط فلان كذا, setelah menyampaikan ini ia menampilkan sanad dan matan hadits yang ia temukan itu.[16]


                       


KESIMPULAN
Kajian sanad hanya tertuju pada dua objek yaitu, penelitian terhadap sosok rawi dengan metode jarh wa ta’dîl dan penelitian terhadap shîgat tahdist atau yang lebih di kenal dengan istilah alfâdhz al-adâ’.Apabila kita perhatikan dalam ilmu mushtalah hadits, banyak ragam lafal adâ’ yang digunakan oleh ulama hadits di era Mutaakhirîn yang satu dengan lainnya berbeda kualitasnya.Berbeda halnya yang terjadi pada masa Ulama salaf, hanya ada dua shîgat tahdits yang masyhur yaitu, حدثنا atauأخبرنا .Pembedaan shigat tahdits yang di pelopori Ulama Mutakhirîn berguna ketika terjadi perbedaan antara dua matan hadits.Sanad yang dinyatakan lebih kuat kualitas shîgat-nya maka matan hadits itulah yang didahulukna dari hadits lainnya.

Daftar Pustaka
Ahmad, Ibn Hajar, fath al-Bâri syarh Shahîh al-Bukhâri, Beirut : Dar la-Ma’rifat, 1379 H.
M.M.Azami, Studies In Hadith Metodology And Literature, Islamic Teaching Center Indianapolis, Indiana M.S.A. of U.S. and Canada, tth.
Abdurrahman, al-Suyuthi, tadrib al-Rawi, Beirut : Dar al-Fikr, 2006.
Mahmud, ‘Umdah al-Qari syarh shahi al-Bukhari, Beirut : Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, tth.
al-Bukhari, Jami’ al-Shahih al-Bukhari, Dar al-Hadits, Cairo, 2004.
Tim penyususun kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2002
Mahmud, al-Thahân, Taisîr Mushtalah al-hadîts, Dar- al-kutub al-islâmiyah, Jakarta, tth.
                              










[1] .Penulis adalah Mahasantri Darus-Sunnah, International Institute for Hadits Sciences Indonesia semester IV, selain itu penulis juga sembari nyantri di Sastra Arab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada semester yang sama.
[2] .Tim penyususun kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2002, hlm 1145.
[3] .’Abdurrahman al-Suyuthi, tadrib al-Rawi, Dar al-Fikr, Beirut, 2006, hlm 368.
[4] .M.Azami, Studies In Hadith Metodology And Literature, Islamic Teaching Center Indianapolis, Indiana M.S.A. of U.S. and Canada, tth, hlm 16.
[5] .al-Bukhari, Jami’ al-Shahih al-Bukhari, Dar al-Hadits, Cairo, 2004, juz 1, hlm 49.Hadits ini di riwayatkan juga oleh, Ahmad ibn Hambal, Muslim, al-Darimi.
[6] .Badr al-Din, Mahmud, ‘Umdah al-Qari syarh shahi al-Bukhari, Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, Beirut, juz 2, hlm 13.باب قول المحدث، حدثنا، وأنبأنا، وأخبرنا.
[7] .ibid, hlm 11.
[8] .Ibn Hajar, fath al-Bâri syarh Shahîh al-Bukhâri, Dar al-Ma’rifat, Beirut, juz 1, hlm 144.
[9] .Mahmud al-Thahân, Taisîr Mushthalah al-hadits, Dar al-kutub al-Islamiyah, Jakarta, hlm 133
[10] .ibid, hlm 133-134
[11] .ibid, hlm 134
[12] .ibid, hlm 134
[13] .ibid, hlm 135
[14] .ibid, hlm 136
[15] .ibid, hlm 137
[16] . .ibid, hlm 137

Tidak ada komentar:

Posting Komentar