Total Tayangan Halaman

Jumat, 05 Juli 2013

الحقول الدلالية (MEDAN MAKNA)

BAB I
PENDAHULUAN
            Ilmu semantik di dalam turats Arab disebut dengan ilmu Dilâlah atau Dalâlah. Kata Dilâlah adalah bentuk derivasi dari kata Dalla-Yadullu-Dilâlah, yang berarti sesuatu yang dijadikan alat untuk mengetahui sesuatu yang lain sebagaimana dipaparkan oleh al-Râgib (W 565 H)[1], misalnya di Indonesia simbol bendera warna kuning menunjukkan akan adanya orang meninggal, simbol bendera berwarna kuning dinamakan al-Dâl, sedangkan adanya orang meninggal dinamakan  al-Madlûl. Objek kajian ilmu ini adalah tentang makna, khususnya makna yang terkaita dengan kata, klausa, dan kalimat. Sebenarnya, Dalam Turats Arab terdapat juga ilmu yang mengkaji tentang hubungan makna dengan kata atau kalaimat, yaitu ilmu al-ma’ânî dalam ilmu Balagah. Agar tidak terjadi tumpang tindih dengan ilmu ma’ânî, maka diberilah nama ilmu al-Dilâlah.[2]
Bangsa Arab, baik dari kalangan linguistnya, Ushûliyûn, manâthiqah telah mengenalistilah ini dan membaginya sesuai versi mereka masing-masing. Misalnya pembagian Dilâlah menurut manâthiqah terbagi menjadi dua, yaitu Dilâlah lafdhziyah dan Dilâlah ghair al-lafhziyah dan keduanya itu terbagi-bagi lagi menjadi Wadh’iyyah, aqliyyah, dan Thabi’iyyah. Berbeda dengan Ibnu Jinni yang membagi Dilâlah al-lafdz menjadi tiga bagian, yaitu al-dilâlah al-lafdziyah, al-dilâlah al-shinâ’iyah, dan al-dilâlah al-ma’nawiyah.[3]
Dalam perkembangannya, ilmu semantik berkembang begitu pesat, sehingga melahirkan beberapa teori yang dikembangkan oleh orang-orang Barat. Salah satu kajian teori semantik yaitu semantik field atau dalam bahasa Arab disebut al-huqûl al-dilâliyah atau disebut juga dengan al-haql al-mu’jami (Lexical field). Walaupun sebenarnya, orang-orang Timur pun sudah terlebih dahulu mengenal semantik field itu dalam bentuk aplikasi, bukan teori. Para pakar semantik Arab modern, seperti Ahmad Mukhtar dalam karyanya ‘ilm al-dilâlah hanya menterjemahkan dari literatur Barat. Penulis menemukan beberapa literatur berbahasa Arab mengenai teori ini dan aplikasinya, diantaranya adalah karya Ahmad Azuz yang penulis unduh dari http://www.awu-dam.org. Di dalam karyanya itu, Azuz membahas tersendiri dalam sub judul mengenai akar teori semantik field dalam literatur linguistik Arab. Selain karya tersebut diatas, penulis menemukan beberapa tulisan-tulisan para pengkaji semantik field, seperti karya Laila Âl Hammad, Mahasiswi Pasca Sarjana Universitas al-Malik Su’ûd Riyad, Relasi semantik field dengan majâz (dalam ilmu Balagah). Di Jurusan Bahasa dan Sastra Arab UIN Syarif Hidayatullah sendiri, penulis temukan skirpsi Muhammad Syarif Hidayatullah, M.Hum, Lc Medan makna kepala Negara.
Dalam makalah ini, penulis akan memaparkan Sejarah singkat wacana teori medan makna baik dalam tradisi literatur Timur maupun Barat. Selain itu Penulis juga akan menyebutkan beberapa manfaat menganalisis sebuah kata dan kalimat melalui teori medan makna ini berikut aplikasinya. Bila membahas medan makna, maka komponen makna pun seperti menjadi satu kesatuan dengan medan makna tersebut, karena diantara keduanya memiliki keterkaitan erat dalam menganalis sebuah kata dalam suatu kelompok. Insyaallah


BAB II
PEMBAHASAN
  1. Pengertian Semantic Field dalam literatur Barat
Sebelum membahas lebih jauh materi ini, pemakalah akan memaparkan perbedaan pendapat seputar Semantic field itui sendiri apakah dia sebuah ilmu, metode, teori atau hanya sekedar pendekatan. Dalam literatur Barat, semantic field dikenal dengan beberapa nama, yaitu Lexical Field, Semantic Space, Semantic Area, Semantic Range, Semantic Class, Semantic Domain, Conceptual Field, Lexical Domain.[4] Dalam literatur Arab sering disebut dengan al-huqûl al-dilâliyah, al-huqûl al-mu’jamiyah, al-majâl al-dilâliyah dan lain sebagainya.[5] Sedangkan dalam bahasa Indonesia disebut dengan medan makna.
Sebagian ahli semantik, seperti Leheur lebih memilih Semantic Field hanyalah sebagai sebuah ittijâh atau muqârabah (Approach) daripada memilih Semantic Field sebagai sebuah metode atau teori. Ia berasalan karena Semantic Field ini belum tersusun rapih secara epistemologi menjadi sebuah teori atau metode.[6] Terlepas dari pendapat apakah semantic field itu adalah teori atau hanya sekedar pendekatan, yang terpenting adalah bagaiamana kita dapat mengaplikasikannya dalam kajian linguistik.
Salah satu patokan utama linguistik abad dua puluh ialah asumsi bahwa bahasa terdiri dari sistem atau satu rangkaian subsistem yang berhubungan. Oleh karena itu, analisis bahasa dipecah atas subsistem fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Hubungan antarunsur dalam subsistem-subsistem itu menentukan nilai dan fungsi masing-masing unsur. Dengan demikian, para linguis pun ingin mencari hubungan antara unsur-unsur dalam sistem semantik sebuah bahasa.[7]
Buah pikir F. de Saussure dan muridnya C. Bally, juga buah pikir dari W. von Humboldt, Weisgerber, dan R.M. Meyer telah menjadi inspirasi utama bagi J.Trier dalam pengembangan Teori Medan Makna. Dalam bukunya tentang istilah-istilah ilmiah bahasa Jerman, Der Deutsche Wortschatz im Sinnbezirk des Verstandes (1891), J. Trier melukiskan Vokabulari sebuah bahasa tersususn rapi dalam medan-medan dan dalam medan itu setiap unsur yang berbeda didefinisikan dan diberi batas yang jelas sehingga tidak ada tumpah tindih antarsesama makna. [8]
Crystal mengemukakan bahwa teori medan makna merupakan pendekatan yang dikembangkan sejak tahun 1930-an. Pendekatan ini, seperti dikemukakan oleh Wedhawati, dipelopori oleh Trier. Hanya saja Trier tidak menggunakan istilah semantic field akan tetapi ia menggunakan istilah wortfeld[9] atau padanan dalam bahasa Arab yang penulis temukan kemungkinan adalah al-haql al-lisânî lî al-‘alâmât.[10]
Ullman mendefinisikan semantic field dengan qithâ’ mutakâmil min al-mâddah al-lugawiyah yu’abbir ‘an majâl mu’ayyan min al-khubrah (bagian yang saling melengkapi dari suatu sistem linguistik yang mengupas sebuah medan tertentu yang masuk dalam kelompok besar sebuah makna) sedangkan Lyons mendefinisikannya dengan majmu’ah juziyyah li mufradât al-lugah (kumpulan bagian sebuah kata atau leksem bahasa).[11]
Perlu diketahui bahwa pembedaan medan makna tidak sama untuk setiap bahasa. Misalnya, bahasa Indonesia membedakan medan makna melihat atas: melirik, mengintip, memandang, meninjau, menatap, melotot, dan sebagaianya.[12]
  1. Akar Teori Semantic Field dalam literatur Linguistik Arab
Semantic field dalam literatur Linguistik Arab disebut dengan al-huqûl al-dilâliyah. Kata al-huqûl sendiri adalah bentuk plural dari kata al-haql. Ibn Mandzur menyebutkan variasi makna al-haql tersebut dari beberapa pakar, diantaranya pendapat Abu ‘Ubaid yang mengatakan bahwa al-haql berarti “tanah yang tidak berair dan tidak berpohon”. Pendapat yang lain lebih menekankan bahwa al-haql itu bukan tanah atau ladangnya, akan tetapi tanaman yang berada diladang, ada yang mendefinisikan al-haql adalah tanaman yang daunnya sudah terlihat hijau.[13]
Terlepas dari definisi diatas, pada awalnya atau hakikatnya kata al-haql digunakan untuk makna yang berkaitan dengan ladang, baik itu buminya atau tanamannya. Yang kemudian kata al-haql tersebut dipinjam oleh ahli linguistik, dalam hal ini ahli semantik, untuk menyebut suatu ilmu semantik sehingga menjadi haqiqah ‘urfiyah.[14]
Secara teoritis tidak dapat dipungkiri bahwa Semantic Field Barat lebih mapan daripada Semantic Field Arab, namun secara praktis mereka lebih dahulu daripada Barat. Hal ini terbukti dalam beberapa karya yang ditorehkan oleh para pakar-pakar Arab klasik, seperti al-Hayawân karya al-Jâhidz (w.255 H), Khalq al-Insân karya al-Ashmu’i (w.216 H), al-maqshûr wa al-mamdûd karya Ibn Duraid (w.321 H), kitâb al-alfâdhz karya Ibn al-Sukait (w.224 H).
            Berikut ini penulis deskripsikan beberapa karya Linguis Arab yang dianggap sebagai karya yang merepsentasikan semantic field.
·         kitâb al-alfâdhz karya Ibn al-Sukait.
Ibn al-Sukait adalah seorang Sastrawan (sekaligus Linguis) yang lahir pada akhir abad ke-2 dan wafat pada awal abad ke-3, tepatnya ialah 186 H - 244 H. Ibn al-Sukait menjabat posisi terhormat sebagai dewan penasehat putra-putra raja, al-Mutawakkil, salah satu Khalifah Abbasiyah. ayahnya bernama Ishaq, seorang yang juga tidak diragukan kemampuan bahasa dan sastranya, ia adalah murid dari pakar nahwa Kufah, al-Kisai. Hal tersebut ditularkan untuk anaknya, Ibn al-Sukait.
Penulis dapatkan kitab al-alfâdhz ini berdasarkan versi yang di tahqîq oleh Fakhruddin Qabawah. Menurutnya, kitab ini dijadikan rujukan metdologis oleh leksikograf dalam menyusun kamus-kamus mereka. Bahkan Ibn Duraid dan al-Anbari menjadikan kitab ini disejajarkan dengan karya yang menjadi rujukan utama, seperti ishlâh al-manthiq karya Ibn al-Sukait sendiri,  adab al-kâtib karya Ibn Qutaibah al-Dinawari (w.276 H), dan al-gharîb al-mushannaf karya Abu ‘Ubaid al-Harawi (w.224 H). Karya ibn al-Sukait ini berupa kamus yang berisi tentang kata-kata yang masuk dalam kelompok kata tertentu dan dibentuk dalam 146 bab.
  1. Bâb al-Ghina wa al-Khashib (Bab tentang kata kekayaan dan kesuburan).
  2. Bâb al-faqr wa al-jadb (Bab tentang kata kefakiran dan kegersangan).
  3. Bâb al-jamâ’ah (Bab tentang kata jamaah).
  4. Bâb al-katâib (Bab tentang kata Batalyon).
  5. Bâb al-ijtimâ’ (Bab tentang kata perkumpulan).
  6. Bâb al-tafarruq (Bab tentang kata perpisahan).
  7. Bâb al-jamâ’ah min al-ibil (Bab tentang kata kelompok onta).
  8. Bâb al-Syuhh (Bab tentang kata pelit). Dan seterusnya.
Salah satu kelompok kata yang penulis teliti diatas adalah Bab pertama Bâb al-Ghina wa al-Khashib dan Bab ke-58 tentang sifat wanita dalam masalah jimâ’ (Bâb shifat al-nisâ’ fî al-jimâ’).
           
كلمة الخصب
كلمة الغنى
الرقم
غضارة
أثرى وثري فلان : إذا كثر ماله  (ثراء،ثروة)
۱
رخاخ
وَفَرَ-ِوَفَرًا يقال إنه لذو وفر أي مال كثير
۲
رفاهية
يقال إنه لذو دثر أي مال كثير
۳
بلهنية
استوثج واستوثن إذا استكثر
٤
رفهنية
ضَفَنَ-يضفَن-ضفوا
٥
الخضم
ضنأ-يضنَأ-ضنئا
٦
القضم
تمشر
۷

أمِرَ-يأْمَرُ-أَمَرٌ
٨

أترب
٩

رغس
۱٠


  1. Analisis Komponensial
Analisis terhadap kata atau leksem atas unsur-unsur makna yang dimilikinya disebut dengan analisis komponen makna atau analisis ciri-ciri makna, atau juga analisis ciri-ciri leksikal.[15] Komponen makna atau komponen semantik mengajarkan bahwa setiap kata atau unsur leksikal terdiri dari satu atau beberapa unsur yang bersama-sama membentuk makna unsur leksikal tersebut. Misalnya kata ayah mengandung komponen makna atau unsur makna : +insan, +dewasa, +jantan dan +kawin. Dan ibu mengandung  komponen makna : +insan, +dewasa, -jantan, dan +kawin.  Sebagaimana dapat di analisis sebagai berikut:
Komponen Makna
Ayah
Ibu
1.      Insan
2.      Dewasa
3.      Jantan
4.      Kawin
+
+
+
+
+
+
-
+

Cara menganalisis di atas ini sudah dipakai dalam laporan penelitian bunyi bahasa. Dalam laporan itu mereka mendeskripsikan bunyi bunyi bahasa dengan menyebutkan ciri-ciri pembeda di antara bunyi yang satu dengan bunyi yang lain. Analisis seperti ini di sebut analisis biner.[16]
Beberapa kelebihan dari analisis biner ini pertama, Dengan analisis biner ini kita dapat menggolong-golongkan kata atau unsur leksikal seperti yang dimaui teori medan makna misalnya :

Benda

                                                  +bernyawa                                    -bernyawa
               + hewan                                                      -hewan
Berkaki empat                             -berkaki empat
                     
Analisis biner ini juga di gunakan untuk mencari perbedaan semantik kata-kata yang memilik keterkaitan sinonimi, antonimi dan lain-lain. Misalnya kata-kata kandang, pondok, rumah, istana, keraton dan wisma. Keenam kata tersebut dapat di anggap bersinonim dengan makna dasar atau makna denotatif tempat tinggal atau tempat kediaman.
Ciri
kandang
pondok
rumah
istana
keraton
wisma
Manusia
-
+
+
+
+
+
jelata
+
+
-
-
-
-
umum

+
-
+
-
-
Kepala negara



+
+
-
raja



-
+


Dalam Tesisnya, M.Abdurrahman al-Zamil, ia menulis tentang kelompok kata yang masuk dalam kategori akhlak, al-fadhz al-akhlaq fî shahîh al-Imam al-Bukhâri. Sekitar 14 lebih kata yang masuk dalam golongan kelompok kata akhlak. Berikut salah satu kata yang diteliti olehnya, yaitu kata-kata yang masuk dalam medan makna al-shilah (menyambung tali persaudaraan) :
جدول بياني لنقاط الاتقاء الدلالي
(Tititk pertemuan semantis)
(٦)
والإيجادالمحبه
(٥)
الى المشاكل ومن يجتمع معك في الفعل 
(٤)
التلاقي
(٣)
الى الاقربين من الاهل
(٢)
لاجل التقرب
(١)
الإحسان

الالفاظ




+
+
١-الصلة




-
-
٢-القطيحة



+
+
+
٣-البر



+
-
-
٤-العقوق




-
-
٥-الجفاء


+

-
-
٦-التدابر


+

-
-
٧-الهجران

+


+
+
٨-الأخواة
+



+
+
٩-التواد
-



-
-
١٠-التباغض
                                                           
جدول بياني لأنواع العلاقات الدلالية بين الألفاظ
(Relasi semantis antara kata al-shilah (menyambung tali sillturrahim) dengan kata lain)
(١٠)
التباغض

(٩)
التواد
(٨)
الأخواة
(٧)
الهجران
(٦)
التدابر
(٥)
الجفاء
(٤)
العقوق
(٣)
البر
(٢)
القطيحة
(١)
الصلة

ر
ل
ل
ر
ر
د
ر
ل
د
=
١-الصلة
ل
ر
ر
ل
ل
ف
ل
ر
=
د
٢-القطيحة
ر


ر
ر
ر
د
=
ر
ل
٣-البر

ر
ر


ل
=
د
ل
ر
٤-العقوق
ل
ر
ر
ل
ل
=
ل
ر
ف
د
٥-الجفاء

ر
ر
ف
=
ل

ر
ل
ر
٦-التدابر

ر
ر
=
ف
ل

ر
ل
ر
٧-الهجران
ر

=
ر
ر

ر


ل
٨-الأخواة
د
=

ر
ر
ر
ر

د
ل
٩-التواد
=
د
ر


ل

ر
ر
ر
١٠-التباغض

مفاتيح الرموز :
= : اللفظة ذاتها،           ل : اشتمال،     ف : ترادف،     ر: تنافر،                   د: تضاد
 
Dari pengamatan data/unsur leksikal, ada tiga hal yang perlu dikemukakan sehubungan dengan analisis biner tersebut.
Pertama, ada pasangan kata yang salah satu dari padanya lebih bersifat netral atau umum sedangkan yang lain bersifat khusus. Misalnya,  mahasiswa dan mahasiswi.
Kedua, ada kata yang atau unsur leksikal yang Sukar dicari pasangannya karena memang mungkin tidak ada tetapi juga yang mempunyai pasangan lebih dari satu. Contoh yang sukar dicari pasangannya antara lain, kata kata yang berkenaan dengan nama warna. Hitam dan putih, tetapi warna warna lain tidak mudah mencari pasangannya.
Ketiga, kita seringkali sukar mengatur ciri-ciri semantik itu secara bertingkat, mana yang lebih bersifat umum, dan mana yang bersifat khusus.[17]
Nida (1975) membedakan komponen makna menjadi dua jenis : komponen diagnostik dan komponen suplemen. Dalam menganalisis komponen makna, Nida mengajukan empat prosedur.
1.      Penamaan. Proses itu berhubungan dengan rujukannya. Rujukan bisa  berupa benda, peristiwa, gejala, proses, system, dan sebagainya. Penamaan itu bersifat konvesional
2.      Parafrasa. Parafrasa bertitik tolak pada deskripsi secara pendek tentang sesuatu. Dalam hal memparafrasa perlu dibedakan unit inti dan ujaran yang dihubungkan dengan ujaran yang dihubungkan dengan unit inti. Contoh leksem ‘amm dapat di jelaskan komponen maknanya (+saudara laki laki ayah).
3.      Pendefinisian merupakan usaha untuk menjelaskan sesuatu. Usaha itu berpangkal dari analisis makna dan parafrasa. Pada saat mendefinisikan leksem kursi komponen makna yang kita masukan adalah (+berkaki empat) (+tempat duduk)(+mempunyai sandadran)(+terbuat dari kayu dan besi)
4.      Klasifikasi. Proses klasifikasi adalah proses menghubungkan sebuah leksem dengan jenisnya, lalu di lanjutkan dengan membedakan leksem yang diklasifikasikan dari anggota lain di dalam kelas tertentu dengan membedakan cirri-cirinya.[18]
  1. Kesesuaian semantik dan gramatis
Seorang penutur suatu bahasa dapat memahami dan menggunakan bahasanya bukanlah kerena dia menguasai semua kalimat yang ada didalam bahasa itu, melainkan karena adanya unsur kesusaian atau kecocokan ciri-ciri semantik antara unsur leksikal yang satu dengan unsur leksikal yang lain. Contohnya : kata wanita dan mengandung ada kesesuaian ciri semantik. Tetapi antara kata jejaka dengan mengandung tidak ada kesesuaian ciri itu. Dalam bahasa Arab kita temukan misalnya kata حائض, ia hanya pantas berpasangan dengan kata امرأة, walaupun kata tersebut tidak ditandai dengan taa marbuthah, karena tidak ada رجل yang حائض.
Kesesuaian ciri ini berlaku bukan hanya pada unsur-unsur leksikal saja tetapi juga berlaku antara unsur leksikal dan gramatikal. Contohnya kata seekor hanya sesuai dengan kata ayam tetapi tidak dengan kata ayam-ayam, yaitu bentuk reduplikasi dari kata ayam. Dengan demikian kalimat “nenek membeli seekor ayam”  lebih di terima, dan kalimat “nenek membeli seekor ayam ayam” tidak dapat di terima. Dalam bahasa Arab untuk mengatakan sekumpulan lelaki cukup dengan kata الرجال. Dalam susunan gramatikal seperti “Para lelaki memiliki tanggung jawab menafkahi istri mereka” يجب على الرجال أن ينفقوا نساءهم kata yang digaris bawahi tidak bias diganti dengan الرجل الرجل misalnya.
Adanya kesesuaian unsur-unsur leksikal dan integrasinya dengan unsur gramatikal sudah banyak di teliti, dan para ahli tata bahasa generative sematik seperti Chafe dan Fillmore, malah berpendapat bahwa setiap unsur leksikal mengandung ketentuan ketentuan penggunaannya yang sudah terpatri yang bersifat gramatikal dan bersifat semantik. Ketentuan-ketentuan gramatikal memberikan kondisi kondisi gramatikal yang berlaku jika suatu gramatikal hendak digunakan. Contoh kata kerja makan dalam penggunaannya memerlukan adanya sebuah subjek dan sebuah objek. Dan dari kata makan ini menyiratkan bahwa subyeknya harus mengandung ciri makna yang bernyawa dan objeknya mengandung ciri makna makanan. [19]
Seperti kata Langendoen, sebenarnya kita dapat mengganti subyek maupun objek dengan apa saja, seperti yang biasa kita lakukan dalam kalimat metaforis atau figurative, tanpa mengubah arti kalimat itu, contohnya kata uang pada kalimat pimpinan itu banyak makan uang rakyat? Secara wajar penggunaan kata uang pada kalimat tersebut tidak dapat diterima sebab kata uang berciri makna (-makanan). Namun secara figurative bisa saja di terima sebab uang itu  sebagai makanan secara kias.
Kalau subyek dan objek dapat diganti degan apa saja tanpa mengubah arti dan struktur kalimat tersebut, meskipun juga dalam penggunaan secara metaforis atau figurative, tetapi kalau bentuk atau struktur gramatikal predikatnya yang di ubah.  Sebagai contoh pada kata kerja beredar, mengedarkan dan diedarkan dalam kalimat tersebut.
a.      Buletin itu sudah beredar
b.      Pemerintah mengedarkan buletin itu
c.       Buletin itu diedarkan oleh pemerintah.
Kata kerja beredar dalam kalimat (a) hanya memerlukan adanya subjek, dan tidak memerlukan kalimat objek atau lainnya karena sifatnya yang instransitif. Kata kerja mengedarkan pada kalimat (b) memerlukan hadirnya sebuah subjek pelaku dan sebuah objek penderita karena sifatnya aktif intransitive. Sedangkan kata kerja diedarkan pada kalimat (c) memerlukan hadirnya sebuah subjek penderita dan sebuah objek pelaku karena sifatnya yang pasif intransitive. [20]
  1. Fungsi Semantic Field dalam analisis Linguistik
Berdasarkan sifat hubungan semantisnya, kata kata yang mengelompokkan dalam satu medan makna dibagi atas kelompok medan kolokasi dan medan set.
Ø  Medan Kolokasi menunjukkan pada hubungan sintagmatik; tentang hubungan linier antara unsur-unsur bahasa dalam tatanan tertentu.
Hubungan itu dikatakan hubungan praesentia (Kridalaksana, 1984), istilah lain dari hubungan sintagmatik adalak kolokasi. Kata kolokasi berasal dari bahasa latin colloco yang berarti ditempat yang sama dengan) dengan menunjuk kepada hubungan sintagmatik. Artinya, kata-kata tersebut berada dalam satu kolokasi atau satu tempat atau satu lingkungan.
Selanjutnya Chaer memberikan contoh tiang layar perahu nelayan itu patah dihantam badai, lalu perahu itu digulung ombak, dan tenggelam beserta isinya. Kata layar, perahu, nelayan, badai, ombak, dan tenggelam merupakan kata kata dalam satu kolokasi. Kolokasi berarti asosiasi hubungan makna kata yang satu dengan yang lain yang masing-masingnya memiliki hubungan ciri yang relatif tetap dean berdampingan.[21] misalnya kata pandangan berhubungan dengan mata, bibir dengan senyum dll.
Misal;
ü   hubungan antar kami, bermain, dan bola dalam kalimat kami bermain bola hubungan ini dikatakan hubungan praesentia.
ü  Kata-kata univertitas, rektor, dosen, mahasiswa berada dalam satu kolokasi, yaitu yang berkenaan dengan perguruan tinggi.
Contoh Bahasa Arab hubungan sintagmatik  (al-huqûl as-Sintajmatiyyah)
يري – عين
يسمع – أذن
Ø  Medan Set menunjukkan hubungan paradigmatik tentang hubungan antara unsur-unsur bahasa dalam tataran tertentu dengan unsur-unsur lain diluar tataran itu yang dapat dipertukarkan. Dan kata kata yang berada dalam satu kelompok set itu saling bisa disubstitusikan.
Hubungan antar unsur-unsur itu dikatakan hubungan in absentia. Contoh lainnya. Menjelang malam, saya merasa lapar sekali, untung ada (----). Garis dalam kurung itu dapat diisi martabak, nasi goreng, roti, dan sebagainya. Kata tersebut dapat diidikan didalamnya karena kata-kata tersebut menunjuk acuan referen ‘dapat dimakan’ .
Contoh;
ü  Kata remaja (شاب)merupakan tahap perkembangan dari
Bayi = الطفل, kanak-kanak = الصبي, remaja =   الشاب, dewasa =الكهول , manula = الشيخ
Contoh dalam bahasa Arab hubungan paradigmatik alhuqûl al farajmatiyyah
يقرأ الأب الجريدة
( نقرأ )
( أقرأ )
يقرأ الأب الجريدة
( المجلّة )
( الكتب )
Pengelompokan kata atas kolokasi dan set ini besar artinya bagi kita dalam memahami konsep budaya yang ada dalam suatu masyarakat bahasa.[22]

KESIMPULAN
Dari serangkaian penjabaran makalah tentang medan makna dan komponen makna diatas, maka dapat disimpulkan beberapa poin kesimpulan sebagai berikut;
  • Kesamaan ciri semantik dalam satu kelompok. Misalnya merah, kuning hijau masuk pada kelompok warna. Dan kata-kata tersebut lazim dinamai kata-kata yang berada dalam satu medan makna/medan leksikal.
  • Sedangkan untuk mencari perbedaan antara kata satu dengan kata lainnya yang berbeda dalam satu kelompok disebut dengan analisis komponen makna/ analisis ciri-ciri makna/ analisis ciri-ciri leksikal.
  • Menurut Nida, katakata biasanya kata-kata biasanya dibagi atas empat kelompok, yaitu kelompok bendaan (entiti), kelompok kejadian/peristiwa (event), kelompok abstrak, dan kelompok relasi.
  • Berdasarkan hubungan semantisnya, kata-kata yang mengelompok dalam satu medan makna dibagi atas kelompok Medan Kolokasi dan Medan Set
  • Medan Kolokasi – Hubungan sintagmatik ; tentang hubungan linier antara unsur-unsur bahasa dalam tataran tertentu; misalnya hubungan antara kami, bermain dan bola. Dalam kalimat kami bermain bola. Hubungan itu dinamakan hubungan praesentia.
  • Medan Set – hubungan Paradigmatik ; tentang hubungan antar Unsur-unsur bahasa dalam tataran tertentu dengan unsur unsur lain diluar tataran ituyang dapat dipertukarkan / disubstitudikan; misalnya, kata remaja merupakan tahap perkembangan dari kanak-kanak menjadi dewasa.
















DAFTAR PUSTAKA
  • Azûz, Ahmad, 2002 M, Ushûl al-turatsiyah fî nadzhariyah al-huqûl al-dilâliyah, Damaskus: maktabah al-asad.
  • Chaer, Abdul, 2002, Pengantar SEMANTIK BAHASA INDONEISA,  Jakarta: Rineka Cipta.
  • Chaer, Abdul. 2012, Linguistik Umum, Jakarta: Rineka Cipta.
  • Kridalaksana, Harimurti, 2008, Kamus Linguistik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
  • Mukhtar, Ahmad,  ‘ilm al-Dilâlah, Kuwait: Maktabah al-Arûbah.
  • Mandzhûr, Ibn. 1414 H, Lisân al-‘Arab, Beirut: Dâr Shâdir.
  • Parera, 2004, Teori Semantik, Jakarta : PT. Penerbit Er langga.
  • Raddatullah, Dilâlah al-Siyâq, Saudi Arabia: Universitas Ummul Qurrâ.
  • Al-Sukait, ibn, 1998 M, kitâb al-alfâdhz, Libanon : Maktabah Lubnân.
  • Subki, Makyun. 2011 M, Semantik, Jakarta: Transpustaka.
  • Syarif Hidayatullah dan Abdullah, 2010, Pengantar Linguistik Bahasa Arab (Klasik Modern), Jakarta, UIN syarif Hidayatullah.
  • Zamil, Abdurrahman, 2000, alfâdhz al-akhlâq fî Shahîh al-Bukhâri, Mekah : maktbah jâmi’ah Umm al-Qurrâ’.





[1]. Raddatullah, Dilâlah al-Siyâq, (Saudi Arabia: Universitas Ummul Qurrâ, tth) hlm 17, Jilid 1. Buku ini adalah disertasi dari DR.Raddatullah, MA yang penulis unduh dari media 4Shared Pada 8 April 2013.
[2]. Umar, Ahmad Mukhtar, ‘ilm al-Dilâlah, (Kuwait: Maktabah al-Arûbah, cet ke-1, 1982 M/1402 H) hlm 11.
[3]. Raddatullah, Dilâlah al-Siyâq, .............................................................., hlm 32-33, jilid 1.
[4]. Ahmad Mukhtar, ‘ilm al-Dilâlah, hlm 79.
[5]. Ahmad Azûz, Ushûl al-turatsiyah fî nadzhariyah al-huqûl al-dilâliyah, (Damaskus: maktabah  al-asad, 2002 M), hlm 9.
[6]. Ahmad Mukhtar, ‘ilm al-Dilâlah, hlm 79.
[7]. Parera, Teori Semantik, (Jakarta : PT. Penerbit Er langga, 2004, Edisi  ke-2), hlm 139.
[8] . Parera, Teori Semantik, hlm 139
[9].  Makyun Subki, Semantik, (Jakarta: Transpustaka, 2011 M ), hlm 180.
[10]. Ahmad Azûz, Ushûl al-turatsiyah fî nadzhariyah al-huqûl al-dilâliyah, hlm 9.
[11]. Ahmad Mukhtar, ‘ilm al-Dilâlah, hlm 79.
[12]. Parera, Teori Semantik, hlm 139
[13]. Ibn Mandzhûr, Lisân al-‘Arab, (Beirut: Dâr Shâdir, Cet ke 3, 1414 H), Lihat akar kata haqala.
[14]. Lihat misalnya ‘uqûd al-Jumân, Jauhar al-maknûn dan kitab-kitab balaghah lainnya dalam pembagian hakikat dan majaz.
[15] .Abdul Chaer, Linguitik Umum, (jakarta; Rineka Cipta, 2012), hlm 315.
[16]. Abdul Chaer, Pengantar SEMANTIK BAHASA INDONEISA,  (JAKARTA: RinekaCipta, 2002) hlm 114, 116
[17]. Abdul Chaer, Pengantar SEMANTIK BAHASA INDONESIA, hlm 117-119
[18]. Moch. Syarif Hidayatullah dan Abdullah, Pengantar Linguistik Bahasa Arab (Klasik Modern), (Jakarta, UIN syarif Hidayatullah, 2010). hlm 131-132
[19]. Abdul Chaer, Pengantar SEMANTIK BAHASA INDONESIA, hlm 123-125.
[20]. Abdul Chaer, Pengantar SEMANTIK BAHASA INDONESIA, hlm 127.
[21] Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik Edisi keempat, (Jakarta; Gramedia Pustaka Utama, 2008), cet. Ke-empat, hal. 127.
[22]. Abdul Chaer, Linguitik Umum, hlm 317-318.

1 komentar:

  1. mantap,,,,masih ana sing kurang jelas, tabel sintagmatik and paradigmatik,,

    BalasHapus