BAB
I
PENDAHULUAN
Ilmu semantik di dalam turats Arab
disebut dengan ilmu Dilâlah atau Dalâlah. Kata Dilâlah adalah
bentuk derivasi dari kata Dalla-Yadullu-Dilâlah, yang berarti sesuatu
yang dijadikan alat untuk mengetahui sesuatu yang lain sebagaimana dipaparkan
oleh al-Râgib (W 565 H)[1],
misalnya di Indonesia simbol bendera warna kuning menunjukkan akan adanya orang
meninggal, simbol bendera berwarna kuning dinamakan al-Dâl, sedangkan
adanya orang meninggal dinamakan al-Madlûl. Objek kajian ilmu ini adalah
tentang makna, khususnya makna yang terkaita dengan kata, klausa, dan kalimat. Sebenarnya,
Dalam Turats Arab terdapat juga ilmu yang mengkaji tentang hubungan
makna dengan kata atau kalaimat, yaitu ilmu al-ma’ânî dalam ilmu Balagah.
Agar tidak terjadi tumpang tindih dengan ilmu ma’ânî, maka diberilah
nama ilmu al-Dilâlah.[2]
Bangsa Arab, baik dari kalangan
linguistnya, Ushûliyûn, manâthiqah telah mengenalistilah ini dan
membaginya sesuai versi mereka masing-masing. Misalnya pembagian Dilâlah menurut
manâthiqah terbagi menjadi dua, yaitu Dilâlah lafdhziyah dan Dilâlah
ghair al-lafhziyah dan keduanya itu terbagi-bagi lagi menjadi Wadh’iyyah,
aqliyyah, dan Thabi’iyyah. Berbeda dengan Ibnu Jinni yang membagi Dilâlah
al-lafdz menjadi tiga bagian, yaitu al-dilâlah al-lafdziyah, al-dilâlah
al-shinâ’iyah, dan al-dilâlah al-ma’nawiyah.[3]
Dalam perkembangannya, ilmu semantik
berkembang begitu pesat, sehingga melahirkan beberapa teori yang dikembangkan
oleh orang-orang Barat. Salah satu kajian teori semantik yaitu semantik field
atau dalam bahasa Arab disebut al-huqûl al-dilâliyah atau disebut juga
dengan al-haql al-mu’jami (Lexical field). Walaupun sebenarnya,
orang-orang Timur pun sudah terlebih dahulu mengenal semantik field itu dalam
bentuk aplikasi, bukan teori. Para pakar semantik Arab modern, seperti Ahmad
Mukhtar dalam karyanya ‘ilm al-dilâlah hanya menterjemahkan dari
literatur Barat. Penulis menemukan beberapa literatur berbahasa Arab mengenai
teori ini dan aplikasinya, diantaranya adalah karya Ahmad Azuz yang penulis
unduh dari http://www.awu-dam.org. Di dalam karyanya itu,
Azuz membahas tersendiri dalam sub judul mengenai akar teori semantik field
dalam literatur linguistik Arab. Selain
karya tersebut diatas, penulis menemukan beberapa tulisan-tulisan para pengkaji
semantik field, seperti karya Laila Âl Hammad, Mahasiswi Pasca Sarjana
Universitas al-Malik Su’ûd Riyad, Relasi semantik field dengan majâz (dalam
ilmu Balagah). Di Jurusan Bahasa dan Sastra Arab UIN Syarif Hidayatullah
sendiri, penulis temukan skirpsi Muhammad Syarif Hidayatullah, M.Hum, Lc Medan
makna kepala Negara.
Dalam
makalah ini, penulis akan memaparkan Sejarah singkat wacana teori medan makna
baik dalam tradisi literatur Timur maupun Barat. Selain itu Penulis juga akan
menyebutkan beberapa manfaat menganalisis sebuah kata dan kalimat melalui teori
medan makna ini berikut aplikasinya. Bila membahas medan makna, maka komponen
makna pun seperti menjadi satu kesatuan dengan medan makna tersebut, karena
diantara keduanya memiliki keterkaitan erat dalam menganalis sebuah kata dalam
suatu kelompok. Insyaallah
BAB
II
PEMBAHASAN
- Pengertian
Semantic Field dalam literatur Barat
Sebelum
membahas lebih jauh materi ini, pemakalah akan memaparkan perbedaan pendapat
seputar Semantic field itui sendiri apakah dia sebuah ilmu, metode, teori atau
hanya sekedar pendekatan. Dalam literatur Barat, semantic field dikenal dengan
beberapa nama, yaitu Lexical Field, Semantic Space, Semantic Area, Semantic
Range, Semantic Class, Semantic Domain, Conceptual Field, Lexical Domain.[4]
Dalam literatur Arab sering disebut dengan al-huqûl al-dilâliyah, al-huqûl
al-mu’jamiyah, al-majâl al-dilâliyah dan lain sebagainya.[5]
Sedangkan dalam bahasa Indonesia disebut dengan medan makna.
Sebagian
ahli semantik, seperti Leheur lebih memilih Semantic Field hanyalah sebagai
sebuah ittijâh atau muqârabah (Approach) daripada memilih
Semantic Field sebagai sebuah metode atau teori. Ia berasalan karena Semantic
Field ini belum tersusun rapih secara epistemologi menjadi sebuah teori atau
metode.[6]
Terlepas dari pendapat apakah semantic field itu adalah teori atau hanya
sekedar pendekatan, yang terpenting adalah bagaiamana kita dapat
mengaplikasikannya dalam kajian linguistik.
Salah
satu patokan utama linguistik abad dua puluh ialah asumsi bahwa bahasa terdiri
dari sistem atau satu rangkaian subsistem yang berhubungan. Oleh karena itu,
analisis bahasa dipecah atas subsistem fonologi, morfologi, sintaksis, dan
semantik. Hubungan antarunsur dalam subsistem-subsistem itu menentukan nilai
dan fungsi masing-masing unsur. Dengan demikian, para linguis pun ingin mencari
hubungan antara unsur-unsur dalam sistem semantik sebuah bahasa.[7]
Buah
pikir F. de Saussure dan muridnya C. Bally, juga buah pikir dari W. von
Humboldt, Weisgerber, dan R.M. Meyer telah menjadi inspirasi utama bagi J.Trier
dalam pengembangan Teori Medan Makna. Dalam bukunya tentang
istilah-istilah ilmiah bahasa Jerman, Der Deutsche Wortschatz im Sinnbezirk
des Verstandes (1891), J. Trier melukiskan Vokabulari sebuah bahasa
tersususn rapi dalam medan-medan dan dalam medan itu setiap unsur yang berbeda
didefinisikan dan diberi batas yang jelas sehingga tidak ada tumpah tindih
antarsesama makna. [8]
Crystal
mengemukakan bahwa teori medan makna merupakan pendekatan yang dikembangkan
sejak tahun 1930-an. Pendekatan ini, seperti dikemukakan oleh Wedhawati,
dipelopori oleh Trier. Hanya saja Trier tidak menggunakan istilah semantic
field akan tetapi ia menggunakan istilah wortfeld[9]
atau padanan dalam bahasa Arab yang penulis temukan kemungkinan adalah al-haql
al-lisânî lî al-‘alâmât.[10]
Ullman
mendefinisikan semantic field dengan qithâ’ mutakâmil min al-mâddah
al-lugawiyah yu’abbir ‘an majâl mu’ayyan min al-khubrah (bagian yang saling
melengkapi dari suatu sistem linguistik yang mengupas sebuah medan tertentu
yang masuk dalam kelompok besar sebuah makna) sedangkan Lyons mendefinisikannya
dengan majmu’ah juziyyah li mufradât al-lugah (kumpulan bagian sebuah
kata atau leksem bahasa).[11]
Perlu
diketahui bahwa pembedaan medan makna tidak sama untuk setiap bahasa. Misalnya,
bahasa Indonesia membedakan medan makna melihat atas: melirik,
mengintip, memandang, meninjau, menatap, melotot, dan sebagaianya.[12]
- Akar
Teori Semantic Field dalam literatur Linguistik Arab
Semantic
field dalam literatur Linguistik Arab disebut dengan al-huqûl
al-dilâliyah. Kata al-huqûl sendiri adalah bentuk plural dari kata al-haql.
Ibn Mandzur menyebutkan variasi makna al-haql tersebut dari beberapa
pakar, diantaranya pendapat Abu ‘Ubaid yang mengatakan bahwa al-haql berarti
“tanah yang tidak berair dan tidak berpohon”. Pendapat yang lain lebih
menekankan bahwa al-haql itu bukan tanah atau ladangnya, akan tetapi
tanaman yang berada diladang, ada yang mendefinisikan al-haql adalah
tanaman yang daunnya sudah terlihat hijau.[13]
Terlepas
dari definisi diatas, pada awalnya atau hakikatnya kata al-haql digunakan
untuk makna yang berkaitan dengan ladang, baik itu buminya atau tanamannya. Yang
kemudian kata al-haql tersebut dipinjam oleh ahli linguistik, dalam hal
ini ahli semantik, untuk menyebut suatu ilmu semantik sehingga menjadi haqiqah
‘urfiyah.[14]
Secara
teoritis tidak dapat dipungkiri bahwa Semantic Field Barat lebih mapan
daripada Semantic Field Arab, namun secara praktis mereka lebih dahulu
daripada Barat. Hal ini terbukti dalam beberapa karya yang ditorehkan oleh para
pakar-pakar Arab klasik, seperti al-Hayawân karya al-Jâhidz (w.255 H), Khalq
al-Insân karya al-Ashmu’i (w.216 H), al-maqshûr wa al-mamdûd karya Ibn Duraid (w.321 H), kitâb al-alfâdhz karya Ibn
al-Sukait (w.224 H).
Berikut
ini penulis deskripsikan beberapa karya Linguis Arab yang dianggap sebagai
karya yang merepsentasikan semantic field.
·
kitâb al-alfâdhz karya Ibn al-Sukait.
Ibn
al-Sukait adalah seorang Sastrawan (sekaligus Linguis) yang lahir pada akhir
abad ke-2 dan wafat pada awal abad ke-3, tepatnya ialah 186 H - 244 H. Ibn
al-Sukait menjabat posisi terhormat sebagai dewan penasehat putra-putra raja,
al-Mutawakkil, salah satu Khalifah Abbasiyah. ayahnya bernama Ishaq, seorang
yang juga tidak diragukan kemampuan bahasa dan sastranya, ia adalah murid dari
pakar nahwa Kufah, al-Kisai. Hal
tersebut ditularkan untuk anaknya, Ibn al-Sukait.
Penulis
dapatkan kitab al-alfâdhz ini berdasarkan versi yang di tahqîq
oleh Fakhruddin Qabawah. Menurutnya, kitab ini dijadikan rujukan metdologis
oleh leksikograf dalam menyusun kamus-kamus mereka. Bahkan Ibn Duraid dan
al-Anbari menjadikan kitab ini disejajarkan dengan karya yang menjadi rujukan
utama, seperti ishlâh al-manthiq karya Ibn al-Sukait sendiri, adab al-kâtib karya Ibn Qutaibah
al-Dinawari (w.276 H), dan al-gharîb al-mushannaf karya Abu ‘Ubaid
al-Harawi (w.224 H). Karya ibn al-Sukait ini berupa kamus yang berisi tentang
kata-kata yang masuk dalam kelompok kata tertentu dan dibentuk dalam 146 bab.
- Bâb
al-Ghina wa al-Khashib (Bab tentang kata kekayaan
dan kesuburan).
- Bâb
al-faqr wa al-jadb (Bab tentang kata kefakiran dan
kegersangan).
- Bâb
al-jamâ’ah (Bab tentang kata jamaah).
- Bâb
al-katâib (Bab tentang kata Batalyon).
- Bâb
al-ijtimâ’ (Bab tentang kata perkumpulan).
- Bâb
al-tafarruq (Bab tentang kata perpisahan).
- Bâb
al-jamâ’ah min al-ibil (Bab tentang kata
kelompok onta).
- Bâb
al-Syuhh (Bab tentang kata pelit). Dan
seterusnya.
Salah satu kelompok kata yang penulis
teliti diatas adalah Bab pertama Bâb al-Ghina wa al-Khashib dan Bab
ke-58 tentang sifat wanita dalam masalah jimâ’ (Bâb shifat
al-nisâ’ fî al-jimâ’).
كلمة
الخصب
|
كلمة الغنى
|
الرقم
|
غضارة
|
أثرى وثري فلان : إذا كثر
ماله (ثراء،ثروة)
|
۱
|
رخاخ
|
وَفَرَ-ِوَفَرًا يقال إنه
لذو وفر أي مال كثير
|
۲
|
رفاهية
|
يقال إنه لذو دثر أي مال
كثير
|
۳
|
بلهنية
|
استوثج واستوثن إذا
استكثر
|
٤
|
رفهنية
|
ضَفَنَ-يضفَن-ضفوا
|
٥
|
الخضم
|
ضنأ-يضنَأ-ضنئا
|
٦
|
القضم
|
تمشر
|
۷
|
أمِرَ-يأْمَرُ-أَمَرٌ
|
٨
|
|
أترب
|
٩
|
|
رغس
|
۱٠
|
- Analisis
Komponensial
Analisis
terhadap kata atau leksem atas unsur-unsur makna yang dimilikinya disebut
dengan analisis komponen makna atau analisis ciri-ciri makna, atau
juga analisis ciri-ciri leksikal.[15]
Komponen makna atau komponen semantik mengajarkan bahwa setiap kata atau
unsur leksikal terdiri dari satu atau beberapa unsur yang bersama-sama
membentuk makna unsur leksikal tersebut. Misalnya kata ayah mengandung komponen
makna atau unsur makna : +insan, +dewasa, +jantan dan +kawin. Dan ibu mengandung komponen makna : +insan, +dewasa, -jantan,
dan +kawin. Sebagaimana dapat di
analisis sebagai berikut:
Komponen Makna
|
Ayah
|
Ibu
|
1.
Insan
2.
Dewasa
3.
Jantan
4.
Kawin
|
+
+ + + |
+
+
-
+
|
Cara menganalisis di atas ini sudah dipakai dalam laporan
penelitian bunyi bahasa. Dalam laporan itu mereka mendeskripsikan bunyi bunyi
bahasa dengan menyebutkan ciri-ciri pembeda di antara bunyi yang satu dengan
bunyi yang lain. Analisis seperti ini di sebut analisis biner.[16]
Beberapa kelebihan dari analisis biner ini pertama,
Dengan analisis biner ini kita dapat menggolong-golongkan kata atau unsur
leksikal seperti yang dimaui teori medan makna misalnya :






Berkaki
empat
-berkaki empat
Analisis
biner ini juga di gunakan untuk mencari perbedaan semantik kata-kata yang memilik keterkaitan sinonimi, antonimi dan lain-lain.
Misalnya kata-kata kandang, pondok, rumah, istana, keraton dan wisma. Keenam
kata tersebut dapat di anggap bersinonim dengan makna dasar atau makna
denotatif tempat tinggal atau tempat kediaman.
Ciri
|
kandang
|
pondok
|
rumah
|
istana
|
keraton
|
wisma
|
Manusia
|
-
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
jelata
|
+
|
+
|
-
|
-
|
-
|
-
|
umum
|
+
|
-
|
+
|
-
|
-
|
|
Kepala negara
|
+
|
+
|
-
|
|||
raja
|
-
|
+
|
Dalam Tesisnya, M.Abdurrahman
al-Zamil, ia menulis tentang kelompok kata yang masuk dalam kategori akhlak, al-fadhz
al-akhlaq fî shahîh al-Imam al-Bukhâri. Sekitar 14 lebih kata yang masuk
dalam golongan kelompok kata akhlak. Berikut salah satu kata yang diteliti
olehnya, yaitu kata-kata yang masuk dalam medan makna al-shilah (menyambung
tali persaudaraan) :
جدول بياني لنقاط الاتقاء الدلالي
(Tititk pertemuan semantis)
(٦)
والإيجادالمحبه
|
(٥)
الى
المشاكل ومن يجتمع معك في
الفعل
|
(٤)
التلاقي
|
(٣)
الى
الاقربين من الاهل
|
(٢)
لاجل
التقرب
|
(١)
الإحسان
|
الالفاظ
|
+
|
+
|
١-الصلة
|
||||
-
|
-
|
٢-القطيحة
|
||||
+
|
+
|
+
|
٣-البر
|
|||
+
|
-
|
-
|
٤-العقوق
|
|||
-
|
-
|
٥-الجفاء
|
||||
+
|
-
|
-
|
٦-التدابر
|
|||
+
|
-
|
-
|
٧-الهجران
|
|||
+
|
+
|
+
|
٨-الأخواة
|
|||
+
|
+
|
+
|
٩-التواد
|
|||
-
|
-
|
-
|
١٠-التباغض
|
جدول بياني لأنواع العلاقات
الدلالية بين الألفاظ
(Relasi
semantis antara kata al-shilah (menyambung tali sillturrahim) dengan
kata lain)
(١٠)
التباغض
|
(٩)
التواد
|
(٨)
الأخواة
|
(٧)
الهجران
|
(٦)
التدابر
|
(٥)
الجفاء
|
(٤)
العقوق
|
(٣)
البر
|
(٢)
القطيحة
|
(١)
الصلة
|
|
ر
|
ل
|
ل
|
ر
|
ر
|
د
|
ر
|
ل
|
د
|
=
|
١-الصلة
|
ل
|
ر
|
ر
|
ل
|
ل
|
ف
|
ل
|
ر
|
=
|
د
|
٢-القطيحة
|
ر
|
ر
|
ر
|
ر
|
د
|
=
|
ر
|
ل
|
٣-البر
|
||
ر
|
ر
|
ل
|
=
|
د
|
ل
|
ر
|
٤-العقوق
|
|||
ل
|
ر
|
ر
|
ل
|
ل
|
=
|
ل
|
ر
|
ف
|
د
|
٥-الجفاء
|
ر
|
ر
|
ف
|
=
|
ل
|
ر
|
ل
|
ر
|
٦-التدابر
|
||
ر
|
ر
|
=
|
ف
|
ل
|
ر
|
ل
|
ر
|
٧-الهجران
|
||
ر
|
=
|
ر
|
ر
|
ر
|
ل
|
٨-الأخواة
|
||||
د
|
=
|
ر
|
ر
|
ر
|
ر
|
د
|
ل
|
٩-التواد
|
||
=
|
د
|
ر
|
ل
|
ر
|
ر
|
ر
|
١٠-التباغض
|
مفاتيح الرموز :
= : اللفظة ذاتها، ل : اشتمال، ف :
ترادف، ر: تنافر، د: تضاد
Dari
pengamatan data/unsur leksikal, ada tiga hal yang perlu dikemukakan sehubungan
dengan analisis biner tersebut.
Pertama,
ada pasangan kata yang salah satu dari padanya lebih bersifat netral atau umum
sedangkan yang lain bersifat khusus. Misalnya,
mahasiswa dan mahasiswi.
Kedua,
ada kata yang atau unsur leksikal yang Sukar dicari pasangannya karena memang
mungkin tidak ada tetapi juga yang mempunyai pasangan lebih dari satu. Contoh
yang sukar dicari pasangannya antara lain, kata kata yang berkenaan dengan nama
warna. Hitam dan putih, tetapi warna warna lain tidak mudah mencari
pasangannya.
Ketiga,
kita seringkali sukar mengatur ciri-ciri semantik itu secara bertingkat, mana
yang lebih bersifat umum, dan mana yang bersifat khusus.[17]
Nida
(1975) membedakan komponen makna menjadi dua jenis : komponen diagnostik dan
komponen suplemen. Dalam menganalisis komponen makna, Nida mengajukan empat
prosedur.
1.
Penamaan.
Proses itu berhubungan dengan rujukannya. Rujukan bisa berupa benda, peristiwa, gejala, proses,
system, dan sebagainya. Penamaan itu bersifat konvesional
2.
Parafrasa. Parafrasa bertitik tolak pada deskripsi secara pendek
tentang sesuatu. Dalam hal memparafrasa perlu dibedakan unit inti dan ujaran
yang dihubungkan dengan ujaran yang dihubungkan dengan unit inti. Contoh leksem
‘amm dapat di jelaskan komponen maknanya (+saudara laki laki ayah).
3.
Pendefinisian
merupakan usaha untuk menjelaskan sesuatu. Usaha itu berpangkal dari analisis
makna dan parafrasa. Pada saat mendefinisikan leksem kursi komponen makna yang
kita masukan adalah (+berkaki empat) (+tempat duduk)(+mempunyai
sandadran)(+terbuat dari kayu dan besi)
4.
Klasifikasi.
Proses klasifikasi adalah proses menghubungkan sebuah leksem dengan jenisnya,
lalu di lanjutkan dengan membedakan leksem yang diklasifikasikan dari anggota
lain di dalam kelas tertentu dengan membedakan cirri-cirinya.[18]
- Kesesuaian semantik
dan gramatis
Seorang
penutur suatu bahasa dapat memahami dan menggunakan bahasanya bukanlah kerena
dia menguasai semua kalimat yang ada didalam bahasa itu, melainkan karena
adanya unsur kesusaian atau kecocokan ciri-ciri semantik antara unsur leksikal
yang satu dengan unsur leksikal yang lain. Contohnya : kata wanita dan
mengandung ada kesesuaian ciri semantik. Tetapi antara kata jejaka dengan mengandung
tidak ada kesesuaian ciri itu.
Dalam bahasa Arab kita temukan misalnya kata حائض, ia hanya pantas berpasangan dengan kata امرأة, walaupun kata tersebut tidak ditandai
dengan taa marbuthah, karena tidak ada رجل yang حائض.
Kesesuaian
ciri ini berlaku bukan hanya pada unsur-unsur leksikal saja tetapi juga berlaku
antara unsur leksikal dan gramatikal. Contohnya kata seekor hanya sesuai dengan
kata ayam tetapi tidak dengan kata ayam-ayam, yaitu bentuk reduplikasi dari
kata ayam. Dengan demikian kalimat “nenek membeli seekor ayam” lebih di terima, dan kalimat “nenek membeli
seekor ayam ayam” tidak dapat di terima. Dalam bahasa Arab untuk mengatakan
sekumpulan lelaki cukup dengan kata الرجال.
Dalam susunan gramatikal seperti “Para lelaki memiliki tanggung jawab
menafkahi istri mereka” يجب على الرجال أن
ينفقوا نساءهم kata yang digaris bawahi tidak bias
diganti dengan الرجل الرجل misalnya.
Adanya
kesesuaian unsur-unsur leksikal dan integrasinya dengan unsur gramatikal sudah
banyak di teliti, dan para ahli tata bahasa generative sematik seperti Chafe
dan Fillmore, malah berpendapat bahwa setiap unsur leksikal mengandung
ketentuan ketentuan penggunaannya yang sudah terpatri yang bersifat gramatikal
dan bersifat semantik. Ketentuan-ketentuan gramatikal memberikan kondisi
kondisi gramatikal yang berlaku jika suatu gramatikal hendak digunakan. Contoh
kata kerja makan dalam penggunaannya memerlukan adanya sebuah subjek dan sebuah
objek. Dan dari kata makan ini menyiratkan bahwa subyeknya harus mengandung
ciri makna yang bernyawa dan objeknya mengandung ciri makna makanan. [19]
Seperti
kata Langendoen, sebenarnya kita dapat mengganti subyek maupun objek dengan apa
saja, seperti yang biasa kita lakukan dalam kalimat metaforis atau figurative, tanpa
mengubah arti kalimat itu, contohnya kata uang pada kalimat pimpinan itu banyak
makan uang rakyat? Secara wajar penggunaan kata uang pada kalimat tersebut
tidak dapat diterima sebab kata uang berciri makna (-makanan). Namun secara
figurative bisa saja di terima sebab uang itu
sebagai makanan secara kias.
Kalau
subyek dan objek dapat diganti degan apa saja tanpa mengubah arti dan struktur
kalimat tersebut, meskipun juga dalam penggunaan secara metaforis atau figurative,
tetapi kalau bentuk atau struktur gramatikal predikatnya yang di ubah. Sebagai contoh pada kata kerja beredar,
mengedarkan dan diedarkan dalam kalimat tersebut.
a.
Buletin
itu sudah beredar
b.
Pemerintah
mengedarkan buletin itu
c.
Buletin
itu diedarkan oleh pemerintah.
Kata
kerja beredar dalam kalimat (a) hanya
memerlukan adanya subjek, dan tidak memerlukan kalimat objek atau lainnya
karena sifatnya yang instransitif. Kata kerja mengedarkan pada kalimat (b) memerlukan hadirnya sebuah subjek
pelaku dan sebuah objek penderita karena sifatnya aktif intransitive. Sedangkan
kata kerja diedarkan pada kalimat (c)
memerlukan hadirnya sebuah subjek penderita dan sebuah objek pelaku karena
sifatnya yang pasif intransitive. [20]
- Fungsi
Semantic Field dalam analisis Linguistik
Berdasarkan
sifat hubungan semantisnya, kata kata yang mengelompokkan dalam satu medan
makna dibagi atas kelompok medan kolokasi dan medan set.
Ø Medan Kolokasi menunjukkan pada hubungan
sintagmatik; tentang hubungan linier antara unsur-unsur bahasa dalam tatanan
tertentu.
Hubungan itu dikatakan hubungan praesentia
(Kridalaksana, 1984), istilah lain dari hubungan sintagmatik adalak kolokasi.
Kata kolokasi berasal dari bahasa latin colloco yang berarti ditempat yang sama
dengan) dengan menunjuk kepada hubungan sintagmatik. Artinya, kata-kata
tersebut berada dalam satu kolokasi atau satu tempat atau satu lingkungan.
Selanjutnya Chaer memberikan contoh tiang layar
perahu nelayan itu patah dihantam badai, lalu perahu itu digulung ombak, dan
tenggelam beserta isinya. Kata layar, perahu, nelayan, badai, ombak, dan
tenggelam merupakan kata kata dalam satu kolokasi. Kolokasi berarti asosiasi
hubungan makna kata yang satu dengan yang lain yang masing-masingnya memiliki hubungan
ciri yang relatif tetap dean berdampingan.[21]
misalnya kata pandangan berhubungan dengan mata, bibir dengan senyum dll.
Misal;
ü hubungan antar kami, bermain, dan bola dalam
kalimat kami bermain bola hubungan ini dikatakan hubungan praesentia.
ü Kata-kata univertitas, rektor, dosen,
mahasiswa berada dalam satu kolokasi, yaitu yang berkenaan dengan perguruan
tinggi.
Contoh Bahasa Arab hubungan sintagmatik (al-huqûl as-Sintajmatiyyah)
يري – عين
يسمع – أذن
Ø Medan Set menunjukkan hubungan paradigmatik
tentang hubungan antara unsur-unsur bahasa dalam tataran tertentu dengan
unsur-unsur lain diluar tataran itu yang dapat dipertukarkan. Dan kata kata
yang berada dalam satu kelompok set itu saling bisa disubstitusikan.
Hubungan antar unsur-unsur itu dikatakan hubungan
in absentia. Contoh lainnya. Menjelang malam, saya merasa
lapar sekali, untung ada (----). Garis dalam kurung itu dapat diisi martabak,
nasi goreng, roti, dan sebagainya. Kata tersebut dapat diidikan didalamnya
karena kata-kata tersebut menunjuk acuan referen ‘dapat dimakan’ .
Contoh;
ü Kata remaja (شاب)merupakan tahap perkembangan dari

Bayi
= الطفل,
kanak-kanak = الصبي, remaja = الشاب,
dewasa =الكهول , manula = الشيخ
Contoh dalam bahasa Arab hubungan paradigmatik alhuqûl al farajmatiyyah
يقرأ الأب الجريدة
( نقرأ )
( أقرأ )
يقرأ
الأب الجريدة
( المجلّة
)
(
الكتب )
Pengelompokan kata atas kolokasi dan set
ini besar artinya bagi kita dalam memahami konsep budaya yang ada dalam suatu
masyarakat bahasa.[22]
KESIMPULAN
Dari
serangkaian penjabaran makalah tentang medan makna dan komponen makna diatas,
maka dapat disimpulkan beberapa poin kesimpulan sebagai berikut;
- Kesamaan
ciri semantik dalam satu kelompok. Misalnya merah, kuning hijau masuk pada
kelompok warna. Dan kata-kata tersebut lazim dinamai kata-kata yang berada
dalam satu medan makna/medan leksikal.
- Sedangkan
untuk mencari perbedaan antara kata satu dengan kata lainnya yang berbeda
dalam satu kelompok disebut dengan analisis komponen makna/ analisis
ciri-ciri makna/ analisis ciri-ciri leksikal.
- Menurut
Nida, katakata biasanya kata-kata biasanya dibagi atas empat kelompok,
yaitu kelompok bendaan (entiti), kelompok kejadian/peristiwa (event),
kelompok abstrak, dan kelompok relasi.
- Berdasarkan
hubungan semantisnya, kata-kata yang mengelompok dalam satu medan makna
dibagi atas kelompok Medan Kolokasi dan Medan Set
- Medan
Kolokasi – Hubungan sintagmatik ; tentang hubungan linier antara
unsur-unsur bahasa dalam tataran tertentu; misalnya hubungan antara kami,
bermain dan bola. Dalam kalimat kami bermain bola. Hubungan itu dinamakan
hubungan praesentia.
- Medan
Set – hubungan Paradigmatik ; tentang hubungan antar Unsur-unsur bahasa
dalam tataran tertentu dengan unsur unsur lain diluar tataran ituyang
dapat dipertukarkan / disubstitudikan; misalnya, kata remaja merupakan
tahap perkembangan dari kanak-kanak menjadi dewasa.
DAFTAR
PUSTAKA
- Azûz,
Ahmad, 2002 M, Ushûl al-turatsiyah fî nadzhariyah al-huqûl
al-dilâliyah, Damaskus: maktabah al-asad.
- Chaer,
Abdul, 2002, Pengantar SEMANTIK
BAHASA INDONEISA, Jakarta:
Rineka Cipta.
- Chaer,
Abdul. 2012, Linguistik Umum, Jakarta: Rineka Cipta.
- Kridalaksana,
Harimurti, 2008, Kamus Linguistik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
- Mukhtar,
Ahmad, ‘ilm al-Dilâlah, Kuwait:
Maktabah al-Arûbah.
- Mandzhûr,
Ibn. 1414 H, Lisân al-‘Arab, Beirut: Dâr Shâdir.
- Parera,
2004, Teori Semantik, Jakarta : PT. Penerbit Er langga.
- Raddatullah,
Dilâlah al-Siyâq, Saudi Arabia: Universitas Ummul Qurrâ.
- Al-Sukait, ibn, 1998 M, kitâb al-alfâdhz, Libanon :
Maktabah Lubnân.
- Subki,
Makyun. 2011 M, Semantik, Jakarta: Transpustaka.
- Syarif
Hidayatullah dan Abdullah, 2010, Pengantar
Linguistik Bahasa Arab (Klasik Modern), Jakarta, UIN syarif
Hidayatullah.
- Zamil, Abdurrahman, 2000, alfâdhz al-akhlâq fî
Shahîh al-Bukhâri, Mekah : maktbah jâmi’ah Umm al-Qurrâ’.
[1]. Raddatullah, Dilâlah al-Siyâq,
(Saudi Arabia: Universitas Ummul Qurrâ, tth) hlm 17, Jilid 1. Buku ini adalah
disertasi dari DR.Raddatullah, MA yang penulis unduh dari media 4Shared Pada 8
April 2013.
[2]. Umar, Ahmad Mukhtar, ‘ilm
al-Dilâlah, (Kuwait: Maktabah al-Arûbah, cet ke-1, 1982 M/1402 H) hlm 11.
[3]. Raddatullah, Dilâlah al-Siyâq,
.............................................................., hlm 32-33,
jilid 1.
[4]. Ahmad Mukhtar, ‘ilm al-Dilâlah,
hlm 79.
[5]. Ahmad Azûz, Ushûl al-turatsiyah
fî nadzhariyah al-huqûl al-dilâliyah, (Damaskus: maktabah al-asad, 2002 M), hlm 9.
[6]. Ahmad Mukhtar, ‘ilm al-Dilâlah,
hlm 79.
[7]. Parera, Teori Semantik, (Jakarta
: PT. Penerbit Er langga, 2004, Edisi
ke-2), hlm 139.
[8] . Parera, Teori Semantik,
hlm 139
[9]. Makyun Subki, Semantik, (Jakarta:
Transpustaka, 2011 M ), hlm 180.
[10]. Ahmad Azûz, Ushûl al-turatsiyah
fî nadzhariyah al-huqûl al-dilâliyah, hlm 9.
[11]. Ahmad Mukhtar, ‘ilm al-Dilâlah,
hlm 79.
[12]. Parera, Teori Semantik, hlm
139
[13]. Ibn Mandzhûr, Lisân al-‘Arab, (Beirut:
Dâr Shâdir, Cet ke 3, 1414 H), Lihat akar kata haqala.
[14]. Lihat misalnya ‘uqûd al-Jumân,
Jauhar al-maknûn dan kitab-kitab balaghah lainnya dalam pembagian hakikat
dan majaz.
[17]. Abdul Chaer, Pengantar SEMANTIK BAHASA INDONESIA, hlm 117-119
[18]. Moch. Syarif Hidayatullah dan
Abdullah, Pengantar Linguistik Bahasa
Arab (Klasik Modern), (Jakarta, UIN syarif Hidayatullah, 2010). hlm 131-132
[19]. Abdul Chaer, Pengantar SEMANTIK BAHASA INDONESIA, hlm 123-125.
[20]. Abdul Chaer, Pengantar SEMANTIK BAHASA INDONESIA, hlm 127.
[21] Harimurti Kridalaksana, Kamus
Linguistik Edisi keempat, (Jakarta; Gramedia Pustaka Utama, 2008), cet.
Ke-empat, hal. 127.
[22]. Abdul Chaer, Linguitik Umum,
hlm 317-318.
mantap,,,,masih ana sing kurang jelas, tabel sintagmatik and paradigmatik,,
BalasHapus