Oleh: Ibnu
Harish
Dewasa ini praktek gemar membid’ahkan amalan personal
maupun komunal mulai meronrongi masyarakat kita. Tak ayal setiap ibadah yang
tidak sesuai dengan pemahaman mereka terhadap Hadis kerap dianggap sebagai
bid’ah. Konotasinya, orang yang mengerjakannya sudah pasti masuk neraka. Hal ini
sesuai dengan hadis, “Setiap bid’ah adalah sesat dan setiap (orang) yang
melakukan kesesatan akan masuk neraka” ( HR. Muslim, Thabrani, Dan yang
lain).
Praktek berdoa
dengan mengangkat tangan diluar shalat,termasuk salah satu amalan yang
dibid’ahkan oleh sebagian kelompok. Salah satu hadits yang digunakan untuk
mengukuhkan pendapat mereka adalah hadits yang diriwayatkan Anas ibn Malik, “Rasulullah SAW. tidak pernah mengangkat kedua
tangannya dalam ibadah apapun, kecuali ketika dalam (khutbah) istisqo’,
sehingga Rasulullah SAW mengangkat kedua tangannya sampai terlihat putih
ketiaknya." ( HR.Bukhori, Muslim, Ahmad,
Abu Daud, NasÂi, Baghowi, Dar Quthni, Ibn Khuzaimah ) .Yang mereka pahami atas
Hadits ini adalah Nabi tidak mengangkat tangannya dalam berdo’a kecuali dalam
(khutbah) istisqô’, selain do’a istisqo’ tidak di perbolehkan mengangkat tangan
dalam berdo’a atau bid’ah.
Menurut penulis pendapat
yang langsung menyetir hadis di atas sebagai hukum bid’ahnya mengangkat tangan
merupakan kesalahan besar. Mengapa?,,,,pertama,, Dalam ilmu ushul fiqih, ada
dua pendekatan (approach) yang penulis kira bisa digunakan untuk memahami
hadits diatas, yaitu muthlaq dan Muqayyad serta ‘Aam dan Khash,
kata dalam ibadah apapun ( fî
syain) adalah kata ‘Âm yang
di takhsis (takhsis muttashil) dengan illa (huruf ististna’), jadi
ma’na sementara hadits menurut analisis Âm
yang di takhsis adalah Nabi mengangkat tangan dalam do’a (khutbah) istisqo’
.Analisis selanjutnya bahwa pemahaman sementara hadits atas analisis pertama
tersebut masih mutkak yang kemudian di taqyÎd dengan kalimat
selanjutnya, yaitu Rasulullah SAW mengangkat kedua tangannya sampai
terlihat putih ketiaknya .Makna utuh hadits diatas adalah Nabi Saw mengangkat
tangan dalam do’a (khutbah) istisqô’ sehingga putih ketiaknya
terlihat (maksudnya adalah Nabi mengangkat tangannya begitu tinggi,
sehingga warna putih ketiaknya terlihat).
kedua, Dalam memahami
Hadist di perlukan pemahaman komperhensif, karena antara satu Hadits dengan
hadits lain saling menafsirkan.Hadits mengenai Nabi mengangkat tangan dalam
berdo’a di riwayatkan oleh banyak sahabat, walaupun konteksnya
berbeda-beda.Bahkan Hadits ini dikategorikan sebagai Hadits mutawatir maknawi. menurut Mahmud Thohan, Kurang lebih sekitar
seratus hadits menuturkan bahwa Nabi mengangkat tangan dalam berdo’a (Mahmud
Thahan, taisir mushtalah al-Hadits, Beirut : Dar al-Fikr, hlm 20 ) .Untuk lebih
memeprkuat statement Mahmud Thahan, Al-Kattani, dalam karyanya nadzmu
al-Mutanatsir, (Beirut : Dar al-kutub
al-‘ilmiyah,
hlm 113 ) buku khusus mengenai Hadits-hadits mutawatir, mencantumkan Hadits
terkait kedalam karyanya.Karena Hadits tersebut Mutawatir, maka tidak di
ragukan lagi untuk di jadikan dalil atas istinbath hukum agama.
Ketiga, Kecaman
langsung yang di layangkan oleh Abu Ishaq Syairozi (w.786) pada orang-orang
yang membatasi mengangkat tangan dalam berdo’a pada istisqo’ saja ( Syairozi, al-Majmu’
Syarah Majmu’, Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Vol 4, hlm 501).Syairozi
menyebutkan beberapa hadits yang menguatkan statementnya tersebut, ada sekitar
tiga puluh hadits yang ia resume.
Salah satu dari
beberapa hadits yang ia resume itu diantaranya Hadits yang di riwayatkan oleh
‘Umar ibn Khattab : dia berkata, "Saat
terjadi perang Badr, Rasulullah Saw melihat pasukan orang-orang Musyrik
berjumlah seribu pasukan, sedangkan para
sahabat beliau hanya berjumlah tiga ratus Sembilan belas orang. Kemudian Nabi
Allah Saw menghadapkan wajahnya ke arah kiblat sambil menengadahkan
tangannya, beliau berdo'a: "Allahumma Anjiz Lii Maa
Wa'adtani, Allahumma Aati Maa Wa'adtani, Allahumma In Tukhlik Haadzihil
'Ishaabah Min Ahlil Islam La Tu'bad Fil Ardli (Ya Allah,
tepatilah janji-Mu kepadaku. Ya Allah, berilah apa yang telah Engkau janjikan
kepadaku. Ya Allah, jika pasukan Islam yang berjumlah sedikit ini musnah,
niscaya tidak ada lagi orang yang akan menyembah-Mua di muka bumi ini).' Demikianlah,
beliau senantiasa berdo'a kepada Tuhannya dengan mengangkat tangannya sambil
menghadap ke kiblat, sehingga selendang beliau terlepas dari bahunya. ( H.R.Muslim).
Abu Musa al’Asy’ari juga meriwayatkan hadits
terkait mengenai mengangkat tangan dalam berdo’a, yaitu ketika ia dan Abu ‘Amir,
pamannya, di utus perang oleh Rasulullah Saw ke medan perang. Pada suatu ketika
Abu Amir terkena panah yang tepat mengenai lututnya, yang kemudian menyebabkan
ia wafat.Sebelum wafatnya, ia berpesan kepada Abu Musa al-Asy’ari yang juga
kemenakannya, “Hai kemenakanku, pergilah kamu kepada Rasulullah Saw dan
sampaikan salamku kepada beliau serta katakan kepada beliau; 'Abu Amir berpesan
agar engkau mendoakannya’.” Setelah kembali ke Madinah, Abu Musa pun langsung
menemui Rasulullah Saw di rumahnya. Pada saat itu beliau sedang berada di atas
tempat tidur yang beralas tanah dengan dilapisi tikar, sementara butir-butir
pasir dan debu menempel di punggung dan lambung beliau. Kemudian saya
memberitahukan kepada beliau tentang berita pasukan kaum muslimin dan berita
Abu Amir. Lalu Abu Musa berkata; 'Abu Amir berpesan agar Rasuluhlah bersedia
mendoakan dirinya.' Lalu Rasulullah Saw
minta air dan langsung berwudlu. Setelah itu beliau mengangkat
kedua tangannya sambil berdoa: 'Ya AlIah, ampunilah Ubaid dan Abu Amir!
' (saya melihat putih ketiak Rasulullah ketika mengangkat tangannya) ( HR.
Bukhori Muslim).
Sebenarnya masih banyak lagi hadits-hadits
terkait mengenai hal ini.seperti penulis kutip di atas bahwa hadits mengenai
hal ini mencapai bilangan yang tidak sedikit, sekitar seratus-an dan perawinya
mencapai bilangan mutawtir. dua hadits ini, penulis kira cukup untuk menepis
pemahaman sebagian orang yang keliru atas memahami hadits terkait ini.Bisa
disimpulkan bahwa mengangkat tangan dalam berdo’a itu hukumnya sunnah, baik di
dalam sholat ataupun di luar sholat.Dan sunnah mengangkat tangan tersebut
seukuran sejajarnya tangan dengan pundak, kecuali dalam do’a
khutbah istisqo’, disunahkan mengangkat tangan lebih tinggi dari do’a
biasa.
Wallahu
a’lam bi al-Shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar