oleh : Ibnu Harish
Latar Belakang
Menstruasi
adalah sesuatu yang alamiah dialami oleh kaum Hawa dalam waktu-waktu tertentu
yang tidak dapat di tolak oleh siapapun yang tidak menginginkannya, bahkan
ketika mens itu tidak datang perlu di tanyakan ke dokter, karena di khawatrikan
terkena Amenorrhea (lihat yahooAnswer). Menstruasi bagaiakan makanan
pokok bagi wanita pada setiap bulannya.
Dalam literature
fiqih klasik maupun kontemporer menyebutkan bahwa ada aktifitas yang haram di
lakukan oleh wanita.Salah satu yang di haramkan adalah berdiam diri (al-mukts)
di dalam masjid.Ulama berbeda pendapat mengenai hal ini.Jumhur ‘Ulama
berpendapat bahwa haram bagi wanita haid berdiam diri di masjid, khawatir atau
tidak darah menetes di masjid bukan suatu alasan bagi mereka.’Illat di
haramkannya ta’abbudi (irrasional).Berbeda dengan Daud al-zahiri yang
berpendapat bahwa orang Junub dan Wanita Haid boleh berdiam diri di dalam
masjid.Perbedaan pendapat tersebut, menurut pengamatan penulis, tertuju pada
penilaian terhadap hadits lâ uhillu al-Masjid li
Haid wa lâ junub, aku tidak menghalalkan masjid bagi wanita haid dan orang
junub (H.R. Ibn Majah, dan lainya).
Setelah
beberapa bulan yang lalu say survey pada teman-teman wanita, saya Tanya mereka
satu persatu mengenai pemahaman mereka akan haramnya wanita haid berdiam diri
dalam masjid.Mereka semua tau akan hal itu.Akan tetapi kebanyakan dari mereka
menganggap hal itu berat baginya, apalagi konteks kultur tempatnya adalah
Jakarta yang kompleks.Tak jarang acara-acara di laksanakan di masjid
jami’.Sebagian mereka merasakan ada semacam beban sikologis, maksudnya disatu
sisi mereka tahu bahwa wanita haid haram berdiam di masjid apapun alasannya,
disisi yang lain pengharaman itu terasa berat baginya, implikasinya adalah
mereka nekat berdiam diri di masjid untuk mendengarkan ceramah misalnya, sambil
“mengantongi” rasa ragu-ragu, dosa tidak kah aku ini, masa gara-gara haid
aku tidak bisa menghadiri diskusi atau pengajian di masjid, begitu kata mereka.
Dalam
hal ini, saya berinisiatif menelaah dalil-dalil yang di jadikan sandaran oleh
Ulama, baik yang mengharamkan maupun yang membolehkan.Perbedaan pendapat Ulama
tentunya memilik sandarannya masing-masing, akan tetapi adalah suatu hal yang
wajar apabila seorang mujtahid melarang mujtahid lain mengikuti pendapatnya, jangankan Ulama
yang jarak keilmuaannya terlampau jauh dengan kurun Nabi, diantara
Sahabat-pun tak jarang terjadi perbedaan pendapat diantara mereka.Statement
seperti ini Senada dengan apa yang di paparkan oleh ‘Abd al-Wahhab al-Sya’rani
bahwa “Syariat
adalah bagai sebuah pohon yang besar yang tersebar. Pendapat-pendapat para
ilmuannya bagai cabang-cabang dan ranting-ranting. Maka tidak ada --bagi kita--
sebuah cabang tanpa asal, dan tidak ada buah tanpa ranting, sebagaimana tidak
ada bangunan tanpa tembok."Tidak ada satu pendapatpun yang dikemukakan
oleh Ulama yang keluar dari kaidah-kaidah syariat, sebagaimana yang kami
ketahui. Sesungguhnya pendapat-pendapat mereka semua adalah di antara dekat dan
lebih dekat, jauh dan lebih jauh, dilihat dari maqam (derajat) setiap
manusia. Sorotan sinar syariat mencakup mereka semua dan menjeneralisir mereka,
walau berbeda dalam melihat maqam Islam, Iman & Ihsan” (‘Al-Sya’rani,
al-Mizan al-Kubra, hal 5-6).
Sebagaimana
disebutkan diatas mengenai hukum wanita haid yang berdiam diri di dalam masjid
yaitu Jumhur ‘Ulama mengharamkannya, sedangkan Daud al-Adzhahiri
membolehkannya.Disini lah kita dapat menerapkan teori takhfif (diringankan
hukumnya) dan tasydid (diperberat hukumnya) al-Sya’rani.Teori
ini diterapkan sesuai dengan pemahaman, kultur, psikologis mukallaf yang
bersangkutan.Bagi wanita yang merasa bahwa pelarangan wanita haid masuk masjid
itu terlalu repot, berat dan sebagainya, karena aktifitasnya selalu
berinteraksi dengan masjid, maka di perbolehkan baginya berdiam diri di sana,
baginya terkena hukum takhfif.Bagi wanita yang merasa sebaliknya dari
wanita di atas, karena misalnya bukan “aktifis masjid”, maka baginya
terkena hukum tasydid.Tentunya hal ini hanya bisa diketahui bagi mereka
yang mengalaminya.
Telaah Dalil
Karena
dalil-dalil Ulama yang mengharamkan wanita haid berdiam diri di dalam masjid
itu sering terbaca oleh mereka yang bergelut dengan fiqih, dalam kesempatan ini
saya hanya meneliti dalil-dalil pendapat yang membolehkannya saja, seperti
pendapat Daud al-Dzahiri, Ibn Hazm, Muzanni, bahkan mereka membolehkan orang
junub berdiam diri dalam masjid.
@
Dalil Nash yang di jadikan
sandaran dasar oleh Ulama yang mengharamkan wanita haid berdiam diri di dalam
masjid adalah Hadits yang diriwaytkan oleh Ummu Salamah, dia berkata : Rasulullah Saw datang, sementara pintu-pintu rumah sahabat
beliau terbuka dan berhubungan dengan masjid. Maka beliau bersabda:
"Pindahkanlah pintu-pintu rumah kalian untuk tidak menghadap ke
masjid!" Lalu Nabi Saw masuk ke masjid, dan para sahabat belum
melakukan apa-apa dengan harapan ada wahyu turun yang memberi keringanan kepada
mereka. Maka beliau keluar menemui mereka seraya bersabda: Pindahkanlah
pintu-pintu rumah kalian untuk tidak menghadap dan berhubungan dengan masjid,
karena saya tidak menghalalkan masuk Masjid untuk orang yang sedang haid dan
juga orang yang sedang junub. Abu Dawud berkata; Dia adalah Fulait Al-'Amiri.
Hadits ini
di nilai dha’if oleh sekelompok Ulama, mereka adalah Abu Daud, Ahmad ibn
Hanbal, Ibn Hazm, Mushtafa ‘Azami, Abu
Ishak al-Huwaini dan lainnya.Ada dua faktor yang menyebabkan hadits ini dha’if
1.
Dua orang perawi hadits ini yaitu Abu al-Khitab dan Mahduj tidak diketahui
identitasnya (majhul al-hal).
2.
Dha’ifnya Jisrah binti Dajajah.walaupun ada beberapa Muhaddits yang
mentsiqahkannya, seperti al-‘ijli, Ibn Hibban, Ibn Khuzaimh, akan tetapi
al-Huwaini menganggap mereka mutasahil dalam menilai hadits.
Ibn al-Qatthan berpendapat bahwa hadits ini Hasan li
gairih (Ibn Hajar al-‘Asqalani, al-talkhis al-habir, vol 1, hal 376)
karena ada hadits syahid dari hadits diatas yang diriwayatkan
oleh ‘Aisyah dengan redaksi yang sama.Benar bahwa hadits hasan ligairih bisa
di jadikan hujjah apabila tidak terjadi ta’arudh (pertentangan) dengan
hadits lain yang derajatnya lebih tinggi, seperti Hasan, shahih ligairih, atau
shahih.Tapi ternyata di temukan hadits shahih yang menyatakan bahwa ada seorang budak perempuan hitam
yang dibuatkan kemah dalam di dalam masjid sebagai tempat tinggalnya, padahal
sesuatu yang pasti terjadi bagi wanita adalah haid, akan tetapi Rasulullah diam
saja, tidak melarangnya.(H.R.Bukhari, Muslim, dan lainnya).
Kesimpulan
Terlepas dari perdebatan mengenai
sanad hadits di atas, saya menyimpulkan bahwa pemahaman akan teks-teks syari’at
tak terlepas dari dua sudut pandang ulama akan pemahaman ‘illat hukum, yaitu ta’abbudi
dan ta’aqquli.Dalam permasalahan haid disini lebih Ulama lebih cenderung
pada ‘illat ta’abbudi, yaitu bahwa wanita yang sedang haid tidak boleh berdiam
diri dalam masjid apapun alasannya, walaupun tidak mengotori masjid itu
sendiri, tapi faktanya tidak begitu.Baik mereka yang awwam atau bahkan santri
sekalipun ketika mereka sedang datang bulan dan di undang dalam suatu acara
yang di selenggrakan di masjid, seperti pelantikan organisasi dan lain-lain,
secara terpaksa mereka harus mendatangi masjid tersebut.Hal tersebut saya kira
termasuk dharurat.
Jadi, terlepas dari pendapat
jumhur Ulama yang mengharamkan wanita haid berdiam diri dalam masjid, dharurat
dan tidaknya kondisi wanita haid dapat diperhitungkan dalam boleh tidaknya
berdiam dalam masjid.Bila dharurat maka di perbolehkan berdiam dalam
masjiddan bila tidak dharurat lebih baik tidak melakukannya.
Wallahu a’lam bi
al-shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar