Total Tayangan Halaman

Sabtu, 03 Maret 2012

Telaah hadits larangan wanita berdiam diri dalam masjid


 oleh : Ibnu Harish
Latar Belakang
Menstruasi adalah sesuatu yang alamiah dialami oleh kaum Hawa dalam waktu-waktu tertentu yang tidak dapat di tolak oleh siapapun yang tidak menginginkannya, bahkan ketika mens itu tidak datang perlu di tanyakan ke dokter, karena di khawatrikan terkena Amenorrhea (lihat yahooAnswer). Menstruasi bagaiakan makanan pokok bagi wanita pada setiap bulannya.
Dalam literature fiqih klasik maupun kontemporer menyebutkan bahwa ada aktifitas yang haram di lakukan oleh wanita.Salah satu yang di haramkan adalah berdiam diri (al-mukts) di dalam masjid.Ulama berbeda pendapat mengenai hal ini.Jumhur ‘Ulama berpendapat bahwa haram bagi wanita haid berdiam diri di masjid, khawatir atau tidak darah menetes di masjid bukan suatu alasan bagi mereka.’Illat di haramkannya ta’abbudi (irrasional).Berbeda dengan Daud al-zahiri yang berpendapat bahwa orang Junub dan Wanita Haid boleh berdiam diri di dalam masjid.Perbedaan pendapat tersebut, menurut pengamatan penulis, tertuju pada penilaian terhadap hadits lâ uhillu al-Masjid li Haid wa lâ junub, aku tidak menghalalkan masjid bagi wanita haid dan orang junub (H.R. Ibn Majah, dan lainya).
Setelah beberapa bulan yang lalu say survey pada teman-teman wanita, saya Tanya mereka satu persatu mengenai pemahaman mereka akan haramnya wanita haid berdiam diri dalam masjid.Mereka semua tau akan hal itu.Akan tetapi kebanyakan dari mereka menganggap hal itu berat baginya, apalagi konteks kultur tempatnya adalah Jakarta yang kompleks.Tak jarang acara-acara di laksanakan di masjid jami’.Sebagian mereka merasakan ada semacam beban sikologis, maksudnya disatu sisi mereka tahu bahwa wanita haid haram berdiam di masjid apapun alasannya, disisi yang lain pengharaman itu terasa berat baginya, implikasinya adalah mereka nekat berdiam diri di masjid untuk mendengarkan ceramah misalnya, sambil “mengantongi” rasa ragu-ragu, dosa tidak kah aku ini, masa gara-gara haid aku tidak bisa menghadiri diskusi atau pengajian di masjid, begitu kata mereka.
Dalam hal ini, saya berinisiatif menelaah dalil-dalil yang di jadikan sandaran oleh Ulama, baik yang mengharamkan maupun yang membolehkan.Perbedaan pendapat Ulama tentunya memilik sandarannya masing-masing, akan tetapi adalah suatu hal yang wajar apabila seorang mujtahid  melarang mujtahid  lain mengikuti pendapatnya, jangankan Ulama yang jarak keilmuaannya terlampau jauh dengan kurun Nabi, diantara Sahabat-pun tak jarang terjadi perbedaan pendapat diantara mereka.Statement seperti ini Senada dengan apa yang di paparkan oleh ‘Abd al-Wahhab al-Sya’rani bahwa “Syariat adalah bagai sebuah pohon yang besar yang tersebar. Pendapat-pendapat para ilmuannya bagai cabang-cabang dan ranting-ranting. Maka tidak ada --bagi kita-- sebuah cabang tanpa asal, dan tidak ada buah tanpa ranting, sebagaimana tidak ada bangunan tanpa tembok."Tidak ada satu pendapatpun yang dikemukakan oleh Ulama yang keluar dari kaidah-kaidah syariat, sebagaimana yang kami ketahui. Sesungguhnya pendapat-pendapat mereka semua adalah di antara dekat dan lebih dekat, jauh dan lebih jauh, dilihat dari maqam (derajat) setiap manusia. Sorotan sinar syariat mencakup mereka semua dan menjeneralisir mereka, walau berbeda dalam melihat maqam  Islam, Iman & Ihsan” (‘Al-Sya’rani, al-Mizan al-Kubra, hal 5-6).
Sebagaimana disebutkan diatas mengenai hukum wanita haid yang berdiam diri di dalam masjid yaitu Jumhur ‘Ulama mengharamkannya, sedangkan Daud al-Adzhahiri membolehkannya.Disini lah kita dapat menerapkan teori takhfif (diringankan hukumnya) dan tasydid (diperberat hukumnya) al-Sya’rani.Teori ini diterapkan sesuai dengan pemahaman, kultur, psikologis mukallaf yang bersangkutan.Bagi wanita yang merasa bahwa pelarangan wanita haid masuk masjid itu terlalu repot, berat dan sebagainya, karena aktifitasnya selalu berinteraksi dengan masjid, maka di perbolehkan baginya berdiam diri di sana, baginya terkena hukum takhfif.Bagi wanita yang merasa sebaliknya dari wanita di atas, karena misalnya bukan “aktifis masjid”, maka baginya terkena hukum tasydid.Tentunya hal ini hanya bisa diketahui bagi mereka yang mengalaminya.  
Telaah Dalil
Karena dalil-dalil Ulama yang mengharamkan wanita haid berdiam diri di dalam masjid itu sering terbaca oleh mereka yang bergelut dengan fiqih, dalam kesempatan ini saya hanya meneliti dalil-dalil pendapat yang membolehkannya saja, seperti pendapat Daud al-Dzahiri, Ibn Hazm, Muzanni, bahkan mereka membolehkan orang junub berdiam diri dalam masjid.

@         Dalil Nash yang di jadikan sandaran dasar oleh Ulama yang mengharamkan wanita haid berdiam diri di dalam masjid adalah Hadits yang diriwaytkan oleh Ummu Salamah, dia berkata : Rasulullah Saw datang, sementara pintu-pintu rumah sahabat beliau terbuka dan berhubungan dengan masjid. Maka beliau bersabda: "Pindahkanlah pintu-pintu rumah kalian untuk tidak menghadap ke masjid!" Lalu Nabi Saw masuk ke masjid, dan para sahabat belum melakukan apa-apa dengan harapan ada wahyu turun yang memberi keringanan kepada mereka. Maka beliau keluar menemui mereka seraya bersabda: Pindahkanlah pintu-pintu rumah kalian untuk tidak menghadap dan berhubungan dengan masjid, karena saya tidak menghalalkan masuk Masjid untuk orang yang sedang haid dan juga orang yang sedang junub. Abu Dawud berkata; Dia adalah Fulait Al-'Amiri.

Hadits ini di nilai dha’if oleh sekelompok Ulama, mereka adalah Abu Daud, Ahmad ibn Hanbal,  Ibn Hazm, Mushtafa ‘Azami, Abu Ishak al-Huwaini dan lainnya.Ada dua faktor yang menyebabkan hadits ini dha’if
1.      Dua orang perawi hadits ini yaitu Abu al-Khitab dan Mahduj tidak diketahui identitasnya (majhul al-hal).
2.      Dha’ifnya Jisrah binti Dajajah.walaupun ada beberapa Muhaddits yang mentsiqahkannya, seperti al-‘ijli, Ibn Hibban, Ibn Khuzaimh, akan tetapi al-Huwaini menganggap mereka mutasahil dalam menilai hadits.

Ibn al-Qatthan berpendapat bahwa hadits ini Hasan li gairih (Ibn Hajar al-‘Asqalani, al-talkhis al-habir, vol 1, hal 376) karena ada hadits syahid dari hadits diatas yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah dengan redaksi yang sama.Benar bahwa hadits hasan ligairih bisa di jadikan hujjah apabila tidak terjadi ta’arudh (pertentangan) dengan hadits lain yang derajatnya lebih tinggi, seperti Hasan, shahih ligairih, atau shahih.Tapi ternyata di temukan hadits shahih yang menyatakan bahwa ada seorang budak perempuan hitam yang dibuatkan kemah dalam di dalam masjid sebagai tempat tinggalnya, padahal sesuatu yang pasti terjadi bagi wanita adalah haid, akan tetapi Rasulullah diam saja, tidak melarangnya.(H.R.Bukhari, Muslim, dan lainnya).

 Kesimpulan


            Terlepas dari perdebatan mengenai sanad hadits di atas, saya menyimpulkan bahwa pemahaman akan teks-teks syari’at tak terlepas dari dua sudut pandang ulama akan pemahaman ‘illat hukum, yaitu ta’abbudi dan ta’aqquli.Dalam permasalahan haid disini lebih Ulama lebih cenderung pada ‘illat ta’abbudi, yaitu bahwa wanita yang sedang haid tidak boleh berdiam diri dalam masjid apapun alasannya, walaupun tidak mengotori masjid itu sendiri, tapi faktanya tidak begitu.Baik mereka yang awwam atau bahkan santri sekalipun ketika mereka sedang datang bulan dan di undang dalam suatu acara yang di selenggrakan di masjid, seperti pelantikan organisasi dan lain-lain, secara terpaksa mereka harus mendatangi masjid tersebut.Hal tersebut saya kira termasuk dharurat.
            Jadi, terlepas dari pendapat jumhur Ulama yang mengharamkan wanita haid berdiam diri dalam masjid, dharurat dan tidaknya kondisi wanita haid dapat diperhitungkan dalam boleh tidaknya berdiam dalam masjid.Bila dharurat maka di perbolehkan berdiam dalam masjiddan bila tidak dharurat lebih baik tidak melakukannya.
           
Wallahu a’lam bi al-shawab.

   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar