Total Tayangan Halaman

Jumat, 10 Mei 2013

Pro dan Kontra Konsep ‘Adâlah Sahabat


Oleh : Ibnu Harish & Aceng Umar Fahmi
I.                   Pendahuluan.
Kritik hadis, baik matan maupun sanad, telah lahir semenjak masa Nabi, walaupun dalam lingkup terbatas. Hal ini karena Nabi sendiri pada waktu masih hidup, hingga para sahabat dapat langsung mengkonfirmasi suatu kejadian yang janggal mengenai hadis dan para sahabat pun tidak mungkin mendustai Nabi saw. Salah satu contoh kritik hadis pada masa Nabi yaitu berita bahwa Nabi telah menceraikan istri-istrinya. Berita ini Umar dapatkan dari tetangganya, seorang Anshar dari keluarga Umayah bin Zaid. Tentu Umar merasa kaget, karena salah satu istri Nabi adalah putrinya, Hafsah, dan Umar pun tidak langsung mempercayai begitu saja orang itu. Ternyata setelah Umar konfirmasi langsung kepada Nabi, Ia hanya bersumpah tidak akan menggauli istri-istrinya selama satu bulan (sumpah îlâ’), bukan mentalak mereka. Setelah mendengarkan konfirmasi itu Umar pun merasa tenang.

Definisi kritik (naqd) menurut ahli hadis sendiri adalah suatu metode yang dapat membedakan mana hadis yang sahih dan tidak, dan menelaah ketsiqatan dan tidaknya (jarh) perawi hadis.[1] Ketika kita hendak meneliti kevalidan atau tidaknya sebuah hadis, tentu terlebih dahulu yang akan kita teliti adalah sanadnya. Sanad itu sendiri terdiri dari beberapa rawi, seorang sahabat yang meriwayatkan hadis akan menjadi rawi pertama. Sementara rawi terakhir – misalnya al-Bukhari – akan bertindak sebagai kolektor (penghimpun) hadis. Dari rawi pertama sampai rawi terakhir, jumlah rawi-rawi itu umumnya berkisar antara lima sampai tujuh orang, tergantung siapa yang bertindak menjadi kolektor. Semakin jauh masa hidup kolektor semakin banyak pula jumlah rawi yang mentarnsmisikan hadis kepadanya.[2]   

Dari semua rawi dalam jajaran sanad tersebut harus kita teliti satu persatu mengenai kredibilitasnya, kecuali para sahabat. Alasannya, kredibilitas para sahabat sebagai penerima dan penyampai hadis kepada generasi berikutnya sudah dijamin langsung oleh Allah maupun Rasul-Nya. Yang Insyallah akan dipaparkan dalilnya satu persatu. Ini, tentang tidak perlunya meneliti kredibilitas sahabat, adalah pendapat ahli sunnah wal jama’ah, mereka berpendapat bahwa kullu shahabahudûl. Kelompok Khawarij, Syi’ah, dan Mu’tazilah, tidak mempercayai konsep ini, terlebih, kata mereka, setelah terjadinya fitnah yang terjadi di masa Ustman. Mayoritas Mu’tazilah berpendapat bahwa para sahabat yang memerangi Ali sebagai khalifah pengganti Utsman dikatakan fasik, tidak diterima periwayatannya dan persaksiannya karena telah keluar dari pemerintahan yang sah.[3] Bahkan pendapat mengenai tidak semuanya sahabat itu adil dilanjutkan oleh Thaha Husein, Ahmad Amin dan Abu Rayyah.

II.                Definisi dan Kriteria konsep ‘Adâlah
Ulama Hadis mendefiniskan kata ‘Adâlah dengan arti suatu kebiasaan (malakah) yang membuat seseorang selalu bertakwa dan menjaga  muruahnya.[4] Ada kriteria tersendiri bagi Seseorang yang diberi titel  ‘Adâlah, yaitu islam, balig, berakal, terbebas dari perbuatan fasik[5], dan menjaga      muruah.[6]Dua syarat yang pertama yaitu islam dan balig bukan lah syarat utama bagi seorang rawi yang hendak mengaji hadis akan tetapi kedua syarat pertama diatas itu bagi perawi yang ingin menyampaikan hadis (dari gurunya) kepada murid, jadi apabila ada rawi yang pernah mendengar (mengaji) hadis dalam keadaan kafir atau masih kecil itu dibenarkan menurut para ahli hadis, tapi ketika ia hendak menyampaikan hadis tersebut nantinya, dia harus dalam keadaan muslim dan balig.

Sebagian para sahabat pun mengalami hal seperti tersebut diatas, sebelum masuk Islam mereka pernah mendapat hadis dari Nabi, dan ketika hendak menyampaikan mereka telah masuk islam.[7] Jubair bin Muth’im Salah satunya, ia adalah sahabat yang pernah mendengar hadis Nabi ketika ia masih dalam keadaan kafir, ia pernah mendengar hadis bahwa Nabi membaca surat al-Thûr ketika, ketika itu kondisnya sebagai tawanan perang Badar, bahkan dalam riwayat al-Bukhari disebutkan bahwa surat al-Thûr yang ia dengarkan itu membuat hatinya bergetar, hingga beriman.[8] Ia masuk islam sebelum terjadinya perang Khaibar, tapi riwayat lain menyebutkan bahwa ia masuk islam ketika fath mekah.[9] Selain dua kriteria diatas ada dua kriteria yang tersisa, yaitu berakal dan terbebas dari perbuatan fasik serta yang menurunkan muruah.Jadi ketika seorang perawi itu masih kecil yang mumayiz, maka ia diperkenankan tahammul hadis. Berbeda halnya dengan anak kecil yang belum mumayiz, ia tidak diperkenankan tahammul. Adapun kriteria terakhir, yaitu terlepas dari faktor fasik, hanya terdapat pada lahiriah seorang rawi saja.[10] Dalam mentakhrij hadis kita harus meneliti kriteria ’adâlah setiap rawi yang ada dalam sanad hadis yang di takhrij, kecuali sahabat, karena sahabat sudah dipastikan adil. Hal tersebut berdasarkan dalil al-quran, hadis dan Ijma’ muhadditsîn.


III.             Dalil ‘Adâlah Sahabat.
Ø  Dalil al-Qur’an tentang keadilan sahabat
·         Surat al-Fath ayat:18
Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, Maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi Balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).

·         Surat Ali Imran ayat : 110
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.

·         Surat al-Anfal ayat : 64
Wahai Nabi, cukuplah Allah (menjadi Pelindung) bagimu dan bagi orang-orang mukmin yang 
mengikutimu.

·         Surat al-Taubah ayat : 100
šorang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.

·         Al-Hadid ayat : 10
Dan mengapa kamu tidak menafkahkan (sebagian hartamu) pada jalan Allah, Padahal Allah-lah yang mempusakai (mempunyai) langit dan bumi? tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Mekah). mereka lebih tingi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik. dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.

·         Al-Naml ayat : 59 
Katakanlah: "Segala puji bagi Allah dan Kesejahteraan atas hamba-hamba-Nya yang dipilih-Nya. Apakah Allah yang lebih baik, ataukah apa yang mereka persekutukan dengan Dia?"

·         Al-A’raf ayat : 156
  
Dan tetapkanlah untuk Kami kebajikan di dunia ini dan di akhirat; Sesungguhnya Kami kembali (bertaubat) kepada Engkau. Allah berfirman: "Siksa-Ku akan Kutimpakan kepada siapa yang aku kehendaki dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat kami".

·         Al-Waqi’ah ayat : 10
Dan orang-orang yang beriman paling dahulu,

Ø  Dalil Hadis tentang keadilan Sahabat dalam al-Sunnah

·         Hadis riwayat al-Bukhari tentang masa yang paling baik
عن عِمْرَانَ بْنَ حُصَيْنٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرُ أُمَّتِي قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ قَالَ عِمْرَانُ فَلَا أَدْرِي أَذَكَرَ بَعْدَ قَرْنِهِ قَرْنَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا ثُمَّ إِنَّ بَعْدَكُمْ قَوْمًا يَشْهَدُونَ وَلَا يُسْتَشْهَدُونَ وَيَخُونُونَ وَلَا يُؤْتَمَنُونَ وَيَنْذُرُونَ وَلَا يَفُونَ وَيَظْهَرُ فِيهِمْ السِّمَنُ[11]
Dari 'Imran bin Hushain radliallahu 'anhuma berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sebaik-baik ummatku adalah yang orang-orang hidup pada zamanku (generasiku) kemudian orang-orang yang datang setelah mereka kemudian orang-orang yang datang setelah mereka". 'Imran berkata; "Aku tidak tahu apakah setelah menyebut generasi beliau, beliau menyebut lagi dua generasi atau tiga generasi setelahnya." "Kemudian akan datang setelah kalian suatu kaum yang mereka bersaksi padahal tidak diminta bersaksi dan mereka suka berkhiyanat (sehingga) tidak dipercaya, mereka memberi peringatan padahal tidak diminta memberi fatwa dan nampak dari ciri mereka berbadan gemuk-gemuk".

عن عِمْرَانَ بْنَ حُصَيْنٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرُكُمْ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ قَالَ عِمْرَانُ لَا أَدْرِي أَذَكَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدُ قَرْنَيْنِ أَوْ ثَلَاثَةً قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ بَعْدَكُمْ قَوْمًا يَخُونُونَ وَلَا يُؤْتَمَنُونَ وَيَشْهَدُونَ وَلَا يُسْتَشْهَدُونَ وَيَنْذِرُونَ وَلَا يَفُونَ وَيَظْهَرُ فِيهِمْ السِّمَنُ[12]

Dari 'Imran bin Hushain radliallahu 'anhuma berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sebaik-baik kalian adalah yang hidup pada zamanku (generasiku) kemudian orang-orang yang datang setelah mereka kemudian orang-orang yang datang setelah mereka". 'Imran berkata: "Aku tidak tahu apakah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menyebutkan lagi setelah (generasi beliau) dua atau tiga generasi setelahnya". Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya setelah kalian akan ada kaum yang suka berkhianat (sehingga) mereka tidak dipercaya, mereka suka bersaksi padahal tidak diminta persaksian mereka, mereka juga suka memberi peringatan padahal tidak diminta berfatwa dan nampak dari ciri mereka orangnya berbadan gemuk-gemuk"

·         Hadis tentang larangan mencaci maki Sahabat
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ[13]

Dari Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah bersabda: 'Janganlah kalian mencaci maki para sahabatku! Janganlah kalian mencaci maki para sahabatku! Demi Dzat yang jiwaku ditangan-Nya, seandainya seseorang menginfakkan emas sebesar gunung Uhud, maka ia tidak akan dapat menandingi satu mud atau setengahnya dari apa yang telah diinfakkan para sahabatku.'
  
v  Maksud dari “Keadilan sahabat”
Adapun maksud dari ke’adilan sahabat disini bukan berarti menetapkan bahwa sahabat itu ma’shum dan mustahil bagi mereka melakukan maksiat. Akan tetapi yang dikehendaki ialah diterimanya periwayatan-periwayatan para sahabat meskipun tanpa memperdalam pembahasan tentang kepribadian dari sahabat itu sendiri mengenai sebab-sebab keadilannya.[14]

Mustafa Azami memberikan pengertian lain tentang adil nya para sahabat. Beliau mengatakan bahwa adil yang disematkan kepada sahabat ini diartikan sebagai ridha. Jadi jika dikatakan bahwa para sahabat sluruhnya adil, itu berarti bahwa  mereka adalah orang-orang yang diridhai oleh Allah.[15]

Kendati demikian pendapat tentang adâlah para sahabat itu tidak mutlak diakui oleh segenap umat muslimin dari masa ke masa. Namun pendapat ini dikemukakan oleh jumhur ulama (sperti para Imam Madzhab yang empat). Begitu pula pendapat itu dikemukakan oleh para muhaddisin seperti al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Nasai, al-Tirmidzi, Ibnu Ma’in, Ibnu al-Madini, Abu Zur’ah, Abu Hatim, Ibnu Hibban, Ibnu Taimiyah, dan umumnya para ulama ahli sunnah wa al- jamâ’ah.

Demikian itu tidak kemudian menutup kemungkinan adanya orang yang setuju dengan konsep keadilan para sahabat ini. Muktazilah, Khawarij, dan Syi’ah misalnya. Mereka menolak konsep ini. Hal tersebut bisa dibuktikan dengan sejarah yang mengungkapkan bahwa kaum khawarij adalah kaum yang cukup mudah mengkafirkan orang lain tak terkecuali para sahabat. Begitupula dengan kaum syi’ah yang jelas-jelas menolak konsep keadilan sahabat. Terbukti dengan adanya klaim dari sebagian mereka bahwa pasca terjadinya perang siffin antara Muawiyyah dan Ali, tak ada Sahabat yang dianggap adil kecuali beberapa orang saja dari kalangan ahlu bait. Contoh lain ialah sebagian mereka menganggap bahwa abu Hurairah adalah salah satu gembong dari para pembohong. Bagaimana tidak, beliau baru masuk islam pasca fathu makkah pada tahun delapan hijriyah. Sedangkan Nabi wafat pada tahun 11 H. jadi kebersamaan Abu Hurairah dengan Nabi hanya berkisar sekitar 3 tahun. Bagaimana bisa dia meriwayatkan hadis dengan jumlah yang jauh lebih banyak dari para sahabat yang notabenenya jauh lebih dahulu masuk Islam.


IV.             Polemik konsep ‘Adâlah  Sahabat
Kelompok yang tidak setuju mengenai konsep ini melandaskan dalilnya berdasarkan hadis dibawah ini :

v  Hadis yang menyatakan bahwa terdapat beberapa sahabat yang murtad setelah Nabi wafat.
عن مُسْلمُ بنُ إبْرَاهِيمَ حدّثنا وُهَيْبٌ حدّثنا عبْدُ العَزِيزِ عنُ أنَسٍ عنِ النبيِّ صلى الله عَلَيْهِ وَسلم قَالَ: (لَيَرِدَنَّ عَليَّ ناسٌ منْ أصْحابي الحَوْضَ حتَّى إذَا عَرَفْتُهُمُ اخْتُلِجُوا دُونِي، فأقُولُ: أصْحابي {فَيَقُولُ: لاَ تَدْرِي مَا أحْدَثُوا بَعْدَكَ})

Dari Muslim bin Ibrahim, dari Wuhaib, dari Abdul Aziz, dari Anas dari Nabi, ia bersabda, “Sekelompok dari sahabtku akan mendatangi al-haudh (Telaga di surga), ketika aku lihat mereka, mereka mendekat kearahku.Lalu aku berkata, “(Wahai Tuhanku, bukankah) mereka itu sahabatku?. Kemudian ia (Allah) menjawab, kau tidak tahu apa yang terjadi setelah engkau wafat (mereka itu murtad dari Islam).

Padalah berita kita merujuk pada kitab-kitab syarah hadis terdapat versi lain pada Kata Ashâb dalam hadis tersebut, yaitu dengan menggunakan Ushaihibî (isim tashgîr). Menurut Ibnu Hajar, penggunaaan kata Ushaihibî ini mengindikasikan bahwa orang-orang terkait ini terhitung sedikit. Tidak seperti yang diduga oleh sebagian kelompok penentang konsep adâlah. Kemudian pertanyaan berikutnya adalah siapa yang Nabi maksud dengan orang-orang tersebut yang tidak dapat menikmati al-haudh (Telaga Surga)?. Tidak disebutkan Secara pasti siapa orang tertentu yang terkait dengan hadis ini. Ibnu mengutip beberapa pendahulunya, Ibnu Tîn berpendapat bahwa mereka adalah orang-orang munafik atau pelaku dosa besar, menurut qîl mereka adalah orang-orang Badui yang keras kepala, mereka masuk Islam tidak sepenuh hati.al-Nawawi mengatakan, “mereka adalah orang-orang munafik atau orang murtad”.  Qadhi ‘Iyad, al-Bâji dan Ulama lain mentarjih pendapat yang bervariasi diatas, mereka adalah orang murtad sesudah Nabi wafat, pendapat ini langsung didapatkan dari perawi hadis ini, yaitu Qabisah.[16]

KESIMPULAN
  • Adâlah sahabat telah di jamin langsung oleh Allah dan Rasulnya sebagaimana dalil-dalil diatas.
  • Dalil Adâlah sahabat adalah al-quran, hadis, dan Ijma’.
  • Konsep Adâlah sahabat diakui oleh Jumhur ulama ahlussunnah wal jama’ah muhaqqiqîn.
  • Sahabat adalah manusia biasa yang mungkin  berbuat salah (tidak ma’shûm), akan tetapi sahabat tidak pernah mendustai Nabi saw dalam meriwayatkan hadis.
  • Jika terjadi ta’arudh  mengenai hadis yang diriwayatkan oleh satu sahabat dengan sahabat lainnya, itu bukan berarti salasatu diantara mereka mendustakan nabi, melainkan perbedaan kedhabitan diantara mereka.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Quran al-Karîm
Al-Suyûthî, Abdurrahman, Tadrîb al-Râwî, (Beirut : Dâr al-Fikr, 2006 M).
Al-Bukhari, Muhammad bin Isma’il, Sahih al-Bukhari, (Beirut : Dar al-kutub al-ilmiyah 2009).
Abdul Aziz, Dhawabith al-Jarh wa al-Ta’dîl, (Riyadh : Maktabah Obekan , 2007 M, cet ke 2).
Al-Hasani, Muhammad bin ‘Alawi al-Maliki, al-Minhal al-Lathif fi Ushul al-Hadis al-Syarif, (Jeddah: 1982).
Al-Mizzi, Tahdzîb al-Kamâl, (Beirut : Muassah al-Risâlah, 1980 M, cet 1).
Al-Naisaburi, Muslim bin Hajjaj, Sahih Muslim, (Beirut : Dar al-fikr, 2005), vol.2.
Azami, Manhaj al-Naqd ‘Inda al-Muhaditsîn, (Riyadh : al-‘imâriyah, 1982).
Shalahuddin, Tahqîq al-Munîf al-Rutbah li Man Tsabata Lahû Syarîf al-Shuhbah, (Riyadh : Dâr al-âshimah, 1410 H).
Ya’qub, Ali Mustafa, Kritik Hadis, (Pasar Minggu : Pustaka Firdaus, 2008, cet ke 5)









                [1] .Azami, Manhaj al-Naqd ‘Inda al-Muhaditsîn, (Riyadh : al-‘imâriyah, 1982), hlm 5.  
                [2] .Ali Mustafa, Kritik Hadis, (Pasar Minggu : Pustaka Firdaus, 2008, cet ke 5), hlm 111.
                [3] .Shalahuddin, Tahqîq al-Munîf al-Rutbah li Man Tsabata Lahû Syarîf al-Shuhbah, (Riyadh : Dâr al-âshimah, 1410 H), hlm   
                [4] .Abdul Aziz, Dhawabith al-Jarh wa al-Ta’dîl, (Riyadh : Maktabah Obekan , 2007 M, cet ke 2), hlm 25.
                [5] .Penyebab seseorang dikategorikan fasik adalah berbuat dosa besar atau melakukan dosa kecil berulang kali tanpa menyadarinya dan berusaha untuk tidak mengulanginya kembali.
                [6] . Abdul Aziz, Dhawabith al-Jarh wa al-Ta’dîl, ....................................................... hlm 25.
                [7] . Abdul Aziz, Dhawabith al-Jarh wa al-Ta’dîl, ....................................................... hlm 26.
                  [8] .Al-Suyûthî, Tadrîb al-Râwî, (Beirut : Dâr al-Fikr, 2006 M), hlm 232.
               [9] .Al-Mizzi, Tahdzîb al-Kamâl, (Beirut : Muassah al-Risâlah, 1980 M, cet 1), juz 4, hlm 506.
                [10] . Abdul Aziz, Dhawabith al-Jarh wa al-Ta’dîl, ............................................................ hlm 26.
                [11]. Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, (Beirut : Dar al-kutub al-ilmiyah 2009) hlm.665
                [12]. Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, .................................................. hlm.481
                [13]. Musim bin Hajjaj al-Naisaburi, Sahih Muslim, (Beirut : Dar al-fikr, 2005), vol.2 hlm 506.
                [14].Muhammad bin ‘Alawi al-Maliki al-Hasani, al-Minhal al-Lathif fi Ushul al-Hadis al-Syarif, (Jeddah: 1982) hlm.185
                [15] M.M. Azami, Manhaj al-naqd ‘inda al-Muhaddisin, ............................................... hlm.106
[16] . Ibnu Hajar, Fathul Bâri, (Kairo : Dâr al-hadîts, 1998), vol 11, hlm 435.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar