Total Tayangan Halaman

Sabtu, 13 Agustus 2011

David hume; the british empiric


Pendahuluan.
Membaca filsafat, secara tidak langsung menenggelamkan diri kita dalam berdebatan dan dialektika pemikiran manusia. Berfilsafat berati, mempertanyakan dan mengkritisi setiap pendapat dan perkataan yan ada. Ketika seorang berani berbicara,menulis dan berfikir, maka ia harus siap untuk mempertanggungjawabkannya dengan argumentasi dan postulat yang benar  dan  perlu untuk diuji kebenarannya agar bisa diterima secara rasional dan logis. Filsafat juga bisa disebut seni kritik, artinya filsafat tidak pernah puas, tidak pernah diam, tidak  menganngap setiap masalah sudah selesai, dan secara hakiki bersifat dialektis dalam arti bahwa setiap kebenaran menjadi lebih benar dengan setiap puturan tesis-antitesis dan antitesisnya antithesis. Dalam bahasa lain mbah Magniz mengatakan bahwa “ filsasat bagaikan anjing yang tidak membiarkan system-sistem normative yang sudah mapan menjadi tempat istirahat bagi keperntingan-kepentingan ideologis. Filsafat mengonggong, menganggu dan menginggit.”
Berpijak terhadap hakikat filsafat itu sendiri,  wajar kalau kita membaca literatur filsafat klasik maupun modern tidak terlepas dari perdebatan dan kritikan. Sebut saja plato, guru dari  aristoteles, dalam kenyatannya, sebagian idenya tidak disetujui muridnya aristoteles. begitu juga descrates, tokoh yang dianggap sebagai bapak filsafat modern, ia juga tidak menerima  seluruh ide dan pemikiran yang telah dibangun dan ditata filosof terdahulu. Bahkan dirinya sendiri, “sipakah saya” wajib ia pertanyakan, maka lahirlah konsep yang kita kenal “Cogito Ergo Sum ”. David Hume, juga tidak tinggal diam, ia turut andil dalam berdebatan  ini. Sebagai orang yang dikenal sebagai “the britis empirict” ia berkewajiban untuk mempertanyakan, mengkritisi, seberapa benar dan logis konsep dan hasil yang telah ditetapkan aliran-aliran rasionalitas. Perdebatan antara madzhab rasionalis dengan empiris sudah terjadi jauh sebelum hume dilahirkan. Francis Bacon pada zaman renaissance sudah berbicara tentang  empirisme. Kemudian abad ke 17 empirisme dikembangkan oleh  Thomas hobbes dan jhon locke. Ajaran dan pemikiran mereka dilanjutkan georgey barkeley dan david hume pada masa pencerahan (afklaurung) abad 18. Hume dikenal sebagi orang yang mengembangkan filsafat empirisme Locke dan Berkeley secara konsekuen. Nah, untuk mengetahui peranan dan sepak terjang hume dalam pergulatan filsafat, mari kita diskusikan dalam pembahasan selanjutnya.
biografi david hume dan karya-karyanya
nama lengkapnya adalah Sir David Hume (1711-1776). Lahir di Edinburgh dari keluarga skotlandia.  Sebelum berkecimpung dalam dunia filsafat Hume menekuni ilmu hukum. Kemudian baru menekuni filsafat secara autodidak. pada  Tahun 1734 ia bekerja sebagai juru tulis pada orang saudagar. Setelah itu, sekitar tahun 1734-1737 ia tinggal di Paris, publikasi bukunya gagal dan hidupnya luntang-lantung. Pada tahun 1744 ia ditolak sebagai Profeser Univesrsitas Edinburg karena dianggap ateis dan terlalu liberal. Pada tahun 1763 ia diutus sebagai sekretaris sekretaris dubes Inggris ke Paris. Di Negara inilah karir Hume naik dan melonjak, disinilah ia mulai dipuji-puji banyak orang dan menjalin hubungan dengan tokoh pencerahan seperti Rousseau. Hume sangat akrab dengan  Rousseau, sehingga ia mengajak tokoh pencarahan prancis itu untuk main dan tinggal di Inggris. Rousseau pun menerima tawaran baik dari Hume. Namun, setiba di Inggris mereka ibarat kucing dan anjing yang selalu berdebat dan bertengkar. Akhirnya rousseu memutuskan untuk kembali ke Paris.
Hume wafat tahun 1776, ia membujang sampai akhir hayatnya. Karya-karyanya yang terkenal antara lain: A Treatise of Humen Nature, An Enquiry Concerning Human Understanding dan An Enquiry into the Principles of Morals. A treatise adalah karyanya yang harus dibaca dan termasuk  buku yang sangat penting, karena salah satu tujuanyya untuk menegaskan dan memperkenalkan metode penalaran secara eksperimental ke dalam pokok-pokok moral.
Ilmu pengetahuan
Sebagaimana diketahui, dalam hal epistemologi Hume menganut  madzhab emperisme sebagai lanjutan dan pengembangan emperisme Locke dan Berkeley. Dalam pandangan Hume, manusia tidak membawa pengetahuan bawaan ke dalam hidupnya. Sember pengetahuan adalah pengamatan. Pengamatan memberikan dua hal, yaitu kesan-kesan (impression), atau apa yang diperoleh secara langsung dari pengalaman, baik pengalaman batiniah ataupun lahiriah, misalnya ketika saya menyentuh api maka tangan saya terasa panas.   Kemudian yang kedua, pengertian-pengertian (ideas) a tau hasil asosiasi atas kesan yang telah kita dapatkan sebelumnya. Misalkan, tangan saya panas jikalau terbakar api, kemudian akal saya mencoba mereflesikan dan mengingat-ingat; bagaimana rasanya dan panasnya ketika tangan saya terbakar api. Nah, inilah yang dimaksud dengan ideas.
Jika dibandingkan antara impression dan ideas, tentunya ideas tidak sekuat impressions. Rasa panas ketika saya menyentuh api jauh lebih kuat dibangdingkan dengan setelahnya melalui perenungan dan pengingatan kembali. menurut Hume, kebanyakan manusia  ebih berpedoman kepada sumber yang kedua;ideas . Akibatnya manusia sering kali  ragu-ragu dan bingung ketika mengenali sesuatu. Oleh sebab itu kita harus kembali kepada sumber pengetahuan yang pertama yaitu impression (kesan-kesan). Setelah itu kita akan mendapatkan keyakinan yang bisa diandalkan dalam proses pengetahuan. Keyakinan ini ia sebut dengan “kepercayaan” . nah, dengan berpijak pada teori ini –impression dan ideas- sangat wajar kalau Hume membantah teori kausalitas (sebab akibat). Karena, dalam hukum kausalitas, indra atau pengamatan manusia tidak mampu menangkap kesan-kesan yang terjadi antara sebab dan akibat. Misalkan bola Biliar, dari mana kita tahu bahwa jika kupukul bola putih, maka dia akan mengenai bola merah atau bagaimana kita tahu bahwa bola putih menyebabkan bola merah masuk ke lubang.   
 Tentang agama
Sebagaimana kebanyakan filosof emperisme lainnya, Hume tidak percaya kepada tuhan dan agama. Ia menganggap Deisme yang berkembang pada zaman pencerahan adalah kepercayaan naïf. baginya argumentasi ajaran Deisme tentang tuhan sebagai orang yang menciptakan jagad raya adalah tidak benar.bantahan Hume terhadap agama dan adanya tuhan sama persis dengan bantahannya terhadap Kausalitas. Menurut Hume, pemahaman kita tentang adanya tuhan tak lebih hanyalah daya imajinatif manusia yang merasa dirinya lemah, takut  dan harapan yang muncul dari jiwa yang lemah dan gelisah.
 Tentang etika.    
Untuk memahami pandangan Hume tentang etika tidaklah sulit. Menurutnya, manusia adalah makhluk sosial, sehingga ia sanggup memberikan perasaan simpati terhadapnya sesamanya secara spontan. Dengan rasa simpati tersebut manusia bisa meraskan sedih ketika orang sedih dan menderita. Begitu juga sebaliknya, kita akan merasa bahagia ketika ada ada orang disamping kita yang bahagia. Hume juga menjelaskan, perbuatan itu dinilai baik apabila bermanfaat dan berguna bagi kita dan orang lain. Secara garis besar dalam konsep Hume tentang etika, ia menyimpulkan ada empat sikap dan prilaku positif yang berguna bagi kita dan orang lain: 1] sikap yang menyenangkan diri kita sendiri: kegembiraan, kebesaran jiwa, ketenagan dan sebagainya; 2] sikap yang menyenamgkan orang lain: tahu diri, sopan santun, humor; 3] sikap yang berguna bagi diri sendiri: keinginan yang kuat, rajin dan hemat; 4] sikap yang berguna bagi masyrakat: kebaikan hati dan keadilan.
Kritikan terhadap Hume
Seperti yang  tulis di pendahuluan tadi, bahwa ketika seorang berani bicara dan beragumentasi, maka ia tidak terlepas dari perdebatan dan kritikan. Gadamer menyatakan dalam teori hermeneutiknya yang dikenal dengan jargon matinya pengarang (the death of author) menyatakan “sekali teks dilempar ke ruang public, ia telah hidup dengan nafasnya sendiri. Artinya ketika Hume berani mengajukan sebuah teori dan menuangkannya dalam sebuah karya, maka pembaca berhak memberikan penafsiran dan catatan kritik terhadapnya. Apalagi jikalau kita menggunakan analisa Popper yang menyatakan bahwa:
“ilmu pengetahuan mempunyai keistimewaan dari yang bukan ilmu yaitu”bahwa ia dapat dibantah atau bersifat criticizable dan refutable atas dasar observasi  dan pemeriksaan, sedangkan pernyataan universal pengetahuan yang bukan ilmu tak dapat dibantah karena ia tidak punya landasan ilmiah”
Dengan berpatokan kepada teori Gadamer dan Popper ini, sangat wajar kiranya kita memberikan kritik dan catatan terhadap ide dan teori yang diperkenalkan Hume ini, apalagi ditegaskanb bahwa ilmu pengetahuan itu bersifat critizizable dan refutable. Simon Petrus dalam bukunya “petualangan intektual” secara global ia memberikan beberapa kritikan terhadap Hume:
-          Kalau ditelaah lebih jauh lagi, bantahan Hume terhadap adanya tuhan dan agama sangatlah kontradiktih dan paradok. Karena, bagaimana mungkin manusia bisa mengenal dan mengucapkan kata-kata Tuhan dan Allah padahal kita tidak mempunyai pengalaman empiris tentang hal ini. Lalu kenapa manusia sanggup mengenal Tuhan? Seharusnya, menurut simon, Hume mengakui bahwa manusia bisa beragama, karena manusia memiliki kemampuan jiwanya melampaui batas-batas kemampuan empiris-indrawi. Atau dalam bahasa modern manusia adalah makhluk yang mempunyai dimensi transenden dan karena adanya dimensi inilah, manusia bisa mengalami dan berbicara tentang hal-hal yang melampaui pengalaman indrawi dan empiris.
-          Kemudian konsep Hume tentang etika, ia mendasarkan bahwa masalah moralitas hanya lah persoalan subjektif saja dan manusia tergerak untuk melakukan sesuatu karena ada dorangan batin dan perasaan.  Artinya ketika manusia senang melakukan sesuatu maka itu adalah baik, namun permasalahan yang muncul ketika kesenangan saya bertentangan dengan kesenangan orang lain, maka akan terjadi kontra dan perdebatan. Maka ini menunjukan bahwa masalah moral dan etika bukanlah masalah perasaan dan empiris tetapi masalah rasional.
Penutup
Salah satu cirri seorang filosof adalah berfikir secara radikal, artinya kita berkewajiban untuk mempertanyakan “apa, siapa dan dari mana” sampai ke akar-akarnya. Teori dan ide yang dikemukakan Hume harus diuji kembali dan dikritisi sampai sejauh mana kebenarannya. Tentunya kita bertanya “apakah selamanya benar empirisme dan pemgalaman itu bisa dijadikan pijakan epistemologi? Kemudian yang harus diperhatikan lagi, setiap pemikiran dan teori tentu tidak terlahir dalam ruang yang hampa artinya teori yang dikemukakan Hume pasti ada faktor-faktor social dan pengaruh dari orang lain yang mengelilinginya. Namun sependek pembacaan saya belum menemukan latar belakang historis dan social yang melahirkan ide ini. Mudah-mudahan bisa dibahas dalam diskusi ini.
Tulisan ini di presentasikan oleh teman saya, Hengki Ferdiyansyah el-fadany

Tidak ada komentar:

Posting Komentar