Total Tayangan Halaman

Rabu, 10 Agustus 2011

Fiqih Pergerakan … Fiqih tekstualis …



                Sebagian Penulis dan Reformis pergerakan Islam mengabaikan maslah penting --- paling tidak menurut pendapat kami --- yaitu penggunaan istilah Fiqih yang disebut dengan fiqih perjuangan, atau Fiqih pergerakan, yang dimaksud adalah Fiqih lapangan yang dihasilakan atas dasar eksperimen dan jerih payah sebagaimana terinspirasi dari firman Allah swt. :
فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ (التوبة 122)
Mengapa sebagian dari setiap golongan diantara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk member peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agara mereka dapat menjaga dirinya.
Adajuga Fiqih Produk pemikiran yang jauh dari jerih payah, yang tak lebih dari sekedar angan-angan belaka, yang tak ada nilai ilmiyahnya, Fiqih tersebut kunamakan dengan Fiqih tekstualis.Apa pendapatmu mengenai masalah ini? Batasan-batasan apa saja yang membedakan antara Fiqih pergerakan (kontekstualis) dengan Fiqih tekstualis? Apakah pembedaan ini sesuatu yang mendasar?
                Fiqih tekstualis sebenarnya bukanlah Fiqih, itupun kalau penamaan ini dianggap benar, bukan hasil ijtihad hakiki.Fiqih yang sesuai, Ijtihad yang sesuai adalah sesuatu yang dihasilkan dari interaksi sosial dengan masyarakat, dan mengetahui kondisi mereka.Faqih (seorang ahli fiqih) yang benar adalah dia yang bisa “mengkomparasikan antara prioritas dan realitas” sebagaimana dikatakan oleh Ibn al-Qayyim.Oleh karena itu, Faqih tekstualis tidak akan bisa beradaptasi dalam lingkungan yang tidak sesuai dengan pemahamnnya, lalai terhadap sesuatu yang prioritas dan realitas.Sesungguhnya “Fiqih agama” itu tidak dapat terpisah dari “Fiqih (realitas) kehidupan”, itulah Fiqih Qur’any.
                Fiqih dalam pandangan al-Quran mencakup perintah dan syari’at Allah, sebagaimana ia mencakup interaksi-interaksi sosial makhluknya.Oleh karena itu al-Quran menyifati musyrikin dan munafiqin bahwa mereka adalah قوم لايفقهون (kaum yang tak mengerti)
                Setelah menyebutkan beberapa ayat-ayat kauniyah (kosmos), Ibn Qayim menyebutkan ayat       قَدْ فَصَّلْنَا الْآَيَاتِ لِقَوْمٍ يَفْقَهُونَ (الانعام 98) .
            Fiqih yang di maksud disini lebih dalam dan luas dari pada hanya sekedar memahami hukum-hukum syari’at partikular yang diambil dari dalil-dalil terperinci, sesungguhnya yang di maksud Fiqih disini adalah Pemahaman komperhensif (bijaksana) yang dapat menghubungkan (menyatukan) antara hukum yang satu dengan yang lain dan dapat diaplikasikan di kehidupan masyarakat di muka bumi ini.Tidak cukup hanya memeperdalam teori-teori tanpa mendalami sosio-kultur masyarakat sekitar.
                Idealnya, pemahaman Fiqih yang seperti ini dapat bertambah dalam dengan cara interaksi social, mengetahui karekteristik masyarakat bahkan bisa bergaul dengan orang-orang zalim dan sewenang-wenang, masuk dalam bara cobaan dan ujian, dapat menghapus tradisi buruk, karat-karat barang tambang (keburukan) dapat di perhalus (perbaiki), dan dapat menempatkan sesuatu dengan proporsional yang baik dikatakan baik dan yang buruk dikatakan buruk.
                Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah bersama para temannya melewati tentara-tentara Tatar yang sedang meminum arak dan berasyik-ayikan mabuk dengan gelasnya, sebagian dari mereka heran (inkar) terhadap perbuatan mereka, maka syaikh berkata : biarkan mereka mabuk, maka sesungguhnya Allah telah mengharamkan arak, karena ia dapat memalingkan seseorang dari ingat Allah dan Sholat, dan arak dapat mencegah mereka dari membunuh dan merampok. 
            Inilah perbedaan antara Faqih (ahli Fiqih) harfi atau yang aku sebut dengan faqih al-awraq (ahli fiqih tekstualis) dengan faqih al-hayat, al-maidan, al-ma’rakah (pergerakan).Yang pertama, ia inkar terhadap perbuatan yang tidak sesuai syari’st tanpa memandang apa maksud dan realita yang sesuai dengan syari’at itu sendiri, dan yang kedua dapat melihat realitas sosial dalam maksud syari’at yang cerah, dan seterusnya.
                Kami melihat bahwa fuqoha al-awraq memerangi masalah yang sebenarnya masih mungkin ditoleransi, atau terdapat perbedaan pendapat, atau permasalahan itu dapat ditunda sampai bisa ditemukan solusinya, mereka lalai akan masalah kehidupan  yang memiliki dampak akibat yang berkaitan dengan eksistensi Islam secara keseluruhan, terkadang mereka itu adalah orang-orang yang keikhlasannya tidak kurang, akan tetapi pemahaman mereka yang kurang, akan tetapi hanya sekedar member predikat “Ulama” bagi mereka itu boleh-boleh saja, akan tetapi tidak layak menamakan mereka sebagai “fuqoha”, kalau mereka tahu yang sebenarnya.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar