Oleh : Ibnu Harish & Aceng Umar Fahmi
I.
Pendahuluan.
Kritik hadis, baik matan maupun sanad, telah lahir
semenjak masa Nabi, walaupun dalam lingkup terbatas. Hal ini karena Nabi
sendiri pada waktu masih hidup, hingga para sahabat dapat langsung
mengkonfirmasi suatu kejadian yang janggal mengenai hadis dan para sahabat pun
tidak mungkin mendustai Nabi saw. Salah satu contoh kritik hadis pada masa Nabi
yaitu berita bahwa Nabi telah menceraikan istri-istrinya. Berita ini Umar
dapatkan dari tetangganya, seorang Anshar dari keluarga Umayah bin Zaid. Tentu
Umar merasa kaget, karena salah satu istri Nabi adalah putrinya, Hafsah, dan
Umar pun tidak langsung mempercayai begitu saja orang itu. Ternyata setelah
Umar konfirmasi langsung kepada Nabi, Ia hanya bersumpah tidak akan menggauli
istri-istrinya selama satu bulan (sumpah îlâ’), bukan mentalak mereka.
Setelah mendengarkan konfirmasi itu Umar pun merasa tenang.
Definisi kritik (naqd)
menurut ahli hadis sendiri adalah suatu metode yang dapat membedakan mana hadis
yang sahih dan tidak, dan menelaah ketsiqatan dan tidaknya (jarh)
perawi hadis.[1]
Ketika kita hendak meneliti kevalidan atau tidaknya sebuah hadis, tentu
terlebih dahulu yang akan kita teliti adalah sanadnya. Sanad itu sendiri
terdiri dari beberapa rawi, seorang sahabat yang meriwayatkan hadis akan
menjadi rawi pertama. Sementara rawi terakhir – misalnya al-Bukhari – akan
bertindak sebagai kolektor (penghimpun) hadis. Dari rawi pertama sampai rawi
terakhir, jumlah rawi-rawi itu umumnya berkisar antara lima sampai tujuh orang,
tergantung siapa yang bertindak menjadi kolektor. Semakin jauh masa hidup
kolektor semakin banyak pula jumlah rawi yang mentarnsmisikan hadis kepadanya.[2]
Dari semua rawi dalam
jajaran sanad tersebut harus kita teliti satu persatu mengenai kredibilitasnya,
kecuali para sahabat. Alasannya, kredibilitas para sahabat sebagai penerima dan
penyampai hadis kepada generasi berikutnya sudah dijamin langsung oleh Allah
maupun Rasul-Nya. Yang Insyallah akan dipaparkan dalilnya satu persatu. Ini,
tentang tidak perlunya meneliti kredibilitas sahabat, adalah pendapat ahli
sunnah wal jama’ah, mereka berpendapat bahwa kullu shahabah ‘udûl.
Kelompok Khawarij, Syi’ah, dan Mu’tazilah, tidak mempercayai konsep ini, terlebih,
kata mereka, setelah terjadinya fitnah yang terjadi di masa Ustman. Mayoritas
Mu’tazilah berpendapat bahwa para sahabat yang memerangi Ali sebagai khalifah
pengganti Utsman dikatakan fasik, tidak diterima periwayatannya dan
persaksiannya karena telah keluar dari pemerintahan yang sah.[3]
Bahkan pendapat mengenai tidak
semuanya sahabat itu adil dilanjutkan oleh Thaha Husein, Ahmad Amin dan Abu
Rayyah.
II.
Definisi
dan Kriteria konsep ‘Adâlah
Ulama Hadis mendefiniskan
kata ‘Adâlah dengan arti suatu kebiasaan (malakah)
yang membuat seseorang selalu bertakwa dan menjaga muruahnya.[4]
Ada kriteria tersendiri bagi Seseorang yang diberi titel ‘Adâlah, yaitu
islam, balig, berakal, terbebas dari perbuatan fasik[5],
dan menjaga muruah.[6]Dua
syarat yang pertama yaitu islam dan balig bukan lah syarat utama bagi seorang
rawi yang hendak mengaji hadis akan tetapi kedua syarat pertama diatas itu bagi
perawi yang ingin menyampaikan hadis (dari gurunya) kepada murid, jadi apabila
ada rawi yang pernah mendengar (mengaji) hadis dalam keadaan kafir atau masih
kecil itu dibenarkan menurut para ahli hadis, tapi ketika ia hendak
menyampaikan hadis tersebut nantinya, dia harus dalam keadaan muslim dan balig.
Sebagian para sahabat pun
mengalami hal seperti tersebut diatas, sebelum masuk Islam mereka pernah
mendapat hadis dari Nabi, dan ketika hendak menyampaikan mereka telah masuk
islam.[7]
Jubair bin Muth’im Salah satunya, ia adalah sahabat yang pernah mendengar hadis
Nabi ketika ia masih dalam keadaan kafir, ia pernah mendengar hadis bahwa Nabi
membaca surat al-Thûr ketika, ketika itu kondisnya sebagai tawanan perang
Badar, bahkan dalam riwayat al-Bukhari disebutkan bahwa surat al-Thûr yang ia
dengarkan itu membuat hatinya bergetar, hingga beriman.[8]
Ia masuk islam sebelum terjadinya perang Khaibar, tapi riwayat lain menyebutkan
bahwa ia masuk islam ketika fath mekah.[9]
Selain dua kriteria diatas ada dua kriteria yang tersisa, yaitu berakal dan
terbebas dari perbuatan fasik serta yang menurunkan muruah.Jadi ketika seorang
perawi itu masih kecil yang mumayiz, maka ia diperkenankan tahammul hadis.
Berbeda halnya dengan anak kecil yang belum mumayiz, ia tidak diperkenankan tahammul.
Adapun kriteria terakhir, yaitu terlepas dari faktor fasik, hanya terdapat
pada lahiriah seorang rawi saja.[10]
Dalam mentakhrij hadis kita harus meneliti kriteria ’adâlah setiap rawi
yang ada dalam sanad hadis yang di takhrij, kecuali sahabat, karena sahabat
sudah dipastikan adil. Hal tersebut berdasarkan dalil al-quran, hadis dan Ijma’
muhadditsîn.