Total Tayangan Halaman

Selasa, 06 September 2011

Infus saat puasa


Berawal dari pertanyaan seseorang yang saya cintai, Wida Husniyah Wiratma, Junior saya di pesantren, apakah infuse itu dapat membatalkan puasa ngga mas (panggilan akrabnya untukku)? , dan pertanyaan ini sebelumnya ia pernah sampaikan kepada Ustadznya ketika ngaji pasaran (pengajian yang biasanya di selenggarkan rutin pada bulan Ramadhan) di salah satu pesantern Babakan, Hadiqoh ‘Usyaq al-quran. Pada waktu itu Ustadznya membacakan fashal tentang batalnya puasa. Salah satu yang membatalkan puasa menurut syafi’i adalah injeksi atau apapun yang tersalur melalui organ yang berlubang terbuka (manfadz maftuh) , baik yang tercipta secara alamiah seperti mulut, telinga, dubur, kemaluan, dan hidung ataupun uyang tidak alami, seperti kepala yang terbentur benda keras yang mengakibtakan bocornya kepala, sehingga harus mengobatinya melalui lobang bocor tadi itu, dan pada akhirnya zat tersebut masuk pada rongga tubuh (al-jauf), papar Ustadznya dengan semangat.Menurut Ustadznya, infuse itu tidak membatalkan puasa, lalu saya bingung untuk langsung menjawab pertanyaannya, terpaksa saya harus merujuk dan membuka-buka kembali selarik demi larik kitab-kitab fiqih Syafi’iyah yang saya miliki, Hasyiyah Bajury, Iqna’, Safinah al-najah dan lain-lain, bahkan saya sempat membuka al-fiqh al-islamy wa adillatuh karya Syeikh Wahbah Zuhaily, Guru Besar Syari’ah Universitas Damaskus.Kebetulan pada waktu ia bertanya itu, saya sedang dalam perjalanan mudik menuju Pemalang, Kota dimana Ayah saya berasal, jadi saya tidak bisa langsung menjawabnya, karena masalah itu termasuk kontemporer yang pada masa Ulama-ulama pendahulu kita belum ada.

Setelah saya cermati lembar demi lembar kitab-kitab Syafi’iyah, ternyata model suntik apapun selagi tidak melalui rongga-rongga tubuh yang terbuka itu tidak membatalkan puasa.Di sini kita harus membedakan substansi dari suntik dan infuse itu sendiri, bukan melihat dari proses masuknya cairan atau nutrisi dengan alat bantu jarum, yang biasanya di suntikkan melalui pori-pori tangan. suntik berisi cairan obat-obatan, sedangkan infuse biasanya berupa nutrisi yang sangat dibutuhkan oleh tubuh. Pada galibnya, orang sakit tidak memiliki nafsu makan, atau karena pertimbangan tertentu tidak dibenarkan mengkonsumsi makanan menurut cara normal. Di sini, infus menjadi sebuah solusi.Kalau kita tilik kembali definisi puasa menurut Fuqoha, yaitu menahan dari segala sesuatu yang membatalkan puasa dengan niat dan dilaksankan pada waktu tertentu, semenjak terbitnya fajar shiddiq sampai terbenamnya matahari.Dari sini, saya ingin mengggaris bawahi bahwa puasa itu menahan diri untuk tidak menerjang perkara yang membatalkannya, dalam hal yang berkaitan dengan pembahasan ini adalah makan.Sebagaimana dikatakan diatas, bahwa infuse adalah nutrisi pengganti makan dari orang sakit, oleh karena itu, saya kira infuse pun dapat di kategorikan dengan makan, walaupun tidak mengenyangkan, hanya membuat tubuh segar saja.Jadi wajar saja apabila kalangan Malikiyah menganggap bahwa hal semacam infuse itu dapat membatalkan puasa, karena di lihat dari substansinya yaitu memperkuat stamina tubuh (taqowwi).

Dr.Yusuf Qardhawi agaknya lebih cenderung pada pendapat yang menyatakan bahwa infus tidak membatalkan puasa, sebagaimana terekam dalam dalam fatawi mu’ashirahnya, 324.Akan tetapi ia menyarankan agar penggunaan infuse dihindari pada saat berpuasa. Alasannya, meskipun infuse tidak mengenyangkan, tetapi cukup menjadikan tubuh terasa relative segar. Intinya, infuse dapat dilihat dari dua sisi, proses masuk dan efek yang ditimbulkan. Ditinjau dari sisi pertama, infuse tidak membatalkan puasa, seperti suntik, sebab masuknya cairan tidak melalui ogan tubuh yang berlubang terbuka. Tetapi, melihat fakta bahwa ia berpotensi menyegarkan badan dan menghilangkan lapar serta dahaga, kita patut bertanya: apakah menyatakan infuse tidak membatalkan puasa tidak berlawanan dengan tujuan puasa itu sendiri, yakni merasakan lapar dan dahaga sebagai  wahana latihan mengendalikan nafsu dan menumbuhkan empati kepada kaum mustadhafin.
      Untuk menghadapi masalah yang disangsikan hukumnya, cara paling aman adalah meninggalkannya, sebagai diajarkan Rasulullah kaitannya dengan perkara syubhat (tidak jelas halal haramnya). Ini artinya, pendapat infuse membatalkan puasa lebih menerminkan sikap berhati-hati (al-ahwath) dalam beragama. Toh orang sakit mendapat dispensasi berbuka pada bulan puasa.Saya kira pendapat ini, yaitu hasil dialog lajnah NU dengan K.H. Sahal Mahfudz, di Ampel Suci, melihat dari subtansi puasa itu sendiri, sebagaimana yang saya paparkan diatas tadi.Wallahu a’alam bi al-shawab
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar