Total Tayangan Halaman

Selasa, 09 Agustus 2011

Imam Wanita dalam Shalat


Salam sejahtera untuk kawan-kawan semua, semoga selalu berada dalam naunagan Allah swt. Dalam kesempatan kali ini, saya akan sedikit mengupas mengenai Imam perempuan dalam sholat yang makmumnya laki-laki.Berawal dari pertanyaan seorang teman, Kang Syamsuddin penjaga Maqbarah, mengenai pertanyaan diatas  yang membingungkan pikirannya ketika ada seorang teman yang lain “memberi  fatwa” bolehnya perempuan menjadi Imam laki-laki, yang katanya keterangan itu ada di dalam khazanah turats, saya teringat seorang Doktor Amerika , Amina Wadud, asisten professor studi Islam Virginia Commonwealth University, mengegerkan dunia Islam seluruh dunia dengan keberadaanya sebagai Imam shalat Jum’at di sebuah gereja di New York Amerika, 18 Maret 2005, di mana para makmumnya terdiri dari kaum lelaki dan perempuan (lihat : Majalah GATRA, No. 21 Jakarta 9 April 2005, hal 25.).Memang ada pendapat yang menyatakan di perbolehkannya imam perempuan bagi laki-laki, dalam hadits yang diriwayatkan Ummu Waraqah binti Naufal al-Anshariyah, akan tetapi  Apakah pendapat Abu tsaur, al-Muzani, al-Thabari yang dikutip oleh Muhammad ibn Isma’il ibn Shalah, muallif subul al-salam, dapat dipertanggung jawabkan?.Mari kita tengok beberapa komentar-komentar Ulama mengenai hal ini.  
Hadits Ummu Waraqah yang akan kita bahas ini memiliki latar belakang tersendiri, yang dalam disiplin ilmu Hadits disebut dengan sabab wurud al-hadits.Sebagai berikut hadits tersebut :
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا وَكِيعُ بْنُ الْجَرَّاحِ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ جُمَيْعٍ قَالَ حَدَّثَتْنِي جَدَّتِي وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ خَلَّادٍ الْأَنْصَارِيُّ عَنْ أُمِّ وَرَقَةَ بِنْتِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نَوْفَلٍ الْأَنْصَارِيَّةِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا غَزَا بَدْرًا قَالَتْ قُلْتُ لَهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ ائْذَنْ لِي فِي الْغَزْوِ مَعَكَ أُمَرِّضُ مَرْضَاكُمْ لَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يَرْزُقَنِي شَهَادَةً قَالَ قَرِّي فِي بَيْتِكِ فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَرْزُقُكِ الشَّهَادَةَ قَالَ فَكَانَتْ تُسَمَّى الشَّهِيدَةُ قَالَ وَكَانَتْ قَدْ قَرَأَتْ الْقُرْآنَ فَاسْتَأْذَنَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تَتَّخِذَ فِي دَارِهَا مُؤَذِّنًا فَأَذِنَ لَهَا قَالَ وَكَانَتْ قَدْ دَبَّرَتْ غُلَامًا لَهَا وَجَارِيَةً فَقَامَا إِلَيْهَا بِاللَّيْلِ فَغَمَّاهَا بِقَطِيفَةٍ لَهَا حَتَّى مَاتَتْ وَذَهَبَا فَأَصْبَحَ عُمَرُ فَقَامَ فِي النَّاسِ فَقَالَ مَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْ هَذَيْنِ عِلْمٌ أَوْ مَنْ رَآهُمَا فَلْيَجِئْ بِهِمَا فَأَمَرَ بِهِمَا فَصُلِبَا فَكَانَا أَوَّلَ مَصْلُوبٍ بِالْمَدِينَةِ

(كتاب الصلاة , (٦٢) باب إمامة النساء , حديث ٥٩١, سنن أبي داود, صحيفة ٢٨٣, المجلد الاول, مطبعة دار الحديث القاهرة  ١٩٩٩م _ ١٤٢٠ه)

“Dari Ummu Waraqah binti naufal, bahwa ketika Nabi saw. berperang di Badar (2 Hijriyah), ia berkata, “Wahai Rasulullah, izinkanlah saya untuk berperang bersama anda.Saya akan merawat orang-orang yang luka dari prajurit Anda.Mudah-mudahan Allah swt. menganugerahi saya mati syahid.” Nabi saw. menjawab, “Diamlah saja dirumahmu, karena Allah swt. akan memberi kamu pahala sebagai syahid.”
Kata Abd al-Rahman bin Khallad yang meriwayatkan hadits ini dari Ummu Waraqah, “Ummu Waraqah akhirnya akan dipanggil dengan syahidah.Ia juga membaca (hafal) al-Quran.Ia meminta idzin dari Nabi saw. untuk mengangkat seorang muadzin di rumahnya.Nabi saw pun mengidzinkannya.”Kata Abd al-Rahman, “Ummu Waraqah berjanji untuk memerdekakan seorang budak laki-laki dan seorang budak perempuan miliknya, sesudah ia mati.Maka pada suatu malam, (pada masa khalifah Umar) keduanya bangun dan menghampirinya, kemudian mendekapnya dengan kain sampai meninggal.Setelah itu keduanya kabur.
Besok paginya di hadapan rakyat, Umar bin Khattab mengumumkan, “Siapa yang mengetahui dua orang hamba (pembunuh Ummu Waraqah), hendklah melapor dan membawa keduanya kepada kami.” Lalu Umar menyuruh untuk menyalib kedua hamba tadi.Keduanya adalah orang pertama yang disalib di Madinah. 
Dalam riwayat ini, tidak ada keterangan bahwa Nabi saw. mengidzinkan, apalagi menyuruh Ummu Waraqah untuk menjadi imam shalat  berjamaah di rumahnya dengan makmum lelaki.Hanya saja dalam halaman yang sama Imam abu Dawud menulis riwayat lain dengan sanad yang lain pula. 
حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ حَمَّادٍ الْحَضْرَمِيُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ عَنْ الْوَلِيدِ بْنِ جُمَيْعٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ خَلَّادٍ عَنْ أُمِّ وَرَقَةَ بِنْتِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَارِثِ بِهَذَا الْحَدِيثِ وَالْأَوَّلُ أَتَمُّ قَالَ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزُورُهَا فِي بَيْتِهَا وَجَعَلَ لَهَا مُؤَذِّنًا يُؤَذِّنُ لَهَا وَأَمَرَهَا أَنْ تَؤُمَّ أَهْلَ دَارِهَا قَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ فَأَنَا رَأَيْتُ مُؤَذِّنَهَا شَيْخًا كَبِيرًا
(كتاب الصلاة , (٦٢) باب إمامة النساء , حديث ٥٩٢, سنن أبي داود, صحيفة ٢٨٤, المجلد الاول, مطبعة دار الحديث القاهرة  ١٩٩٩م _ ١٤٢٠ه)
‘Abd al-Rahman bin Khallad berkata, “Rasulullah saw. sering mengunjungi Ummu Waraqah di rumahnya, menunjuk seorang muadzin untuknya, dan menyuruh Ummu Waraqah untu mengimami shalat jamaah bagi penghuni rumahnya.”Dan Abd Rahman juga berkata, “ saya melihat tukang adzannya adalah lelaki tua.
Dari keterangan Abd al-Rahman bin Khallad inilah ada Ulama yang berkesimpulan bahwa orang-orang yang menjadi makmum Ummu Waraqah terdiri dari laki-laki dan perempuan.Karena muadzinnya seorang lelaki, dan Ummu Waraqah juga punya budak lelaki dan budak alias hamba sahaya dianggap penghuni rumahnya.
Dalam riwayat-riwayat selain Abu dawud juga tidak ada keterangan bahwa Ummu Waraqah mengimami makmum campuran antara lelaki dan perempuan.Semua riwayat hanya menegaskan bahwa Nabi saw. mengidzinkan Ummu Waraqah untuk mengimami penghuni rumahnya.
Jadi Ulama yang berpendapat bahwa perempuan boleh menjadi Imam shalat berjamaah dengan makmum lelaki, tampaknya beristidlal dari apa yang tersirat dari penuturan Abd al-Rahman bin Khallad itu, bukan dari apa yang tersurat dari hadits tersebut.Padahal Abd al-Rahman sendiri adalah rawi kontroversial, begitupula neneknya Laila binti Malik.
Menurut Ibn Hajar, Abd al-Rahman bin Khallad adalah rawi majhul al-hal (tidak diketahui identitasnya), walaupun Ibn Hibban menyebutnya rawi tsiqah, akan tetapi menurut kaidah ilmu jarh dan ta’dil apabila ada perbedaan Ulama mengenai seorang perawi, ada yang menjarh dan ada pula yang menta’dil maka yang didahulukan adalah yang menjarh.Olehkarena itu, Abd al-Rahman bin Khallad dinyatakan rawi yang dha’if.Disamping itu, neneknya, Laila binti Malik menurut Ibn Hajar identitasnya la tu’raf (tidak diketahui).Maka dapat disimpulkan bahwa kedua hadits yang diriwayatkan oleh Abd al-Rahman bin Khallad ini dha’if.
Inilah sedikit keterangan yang saya kutip dari berbagai kitab, alangkah lebih baik apabila teman-teman ingin tahu lebih jauh mengenai hal ini, silahkan baca buku Imam Perempuan karya Prof.DR.K.H. Ali Mustafa Ya’qub, MA, khadim ma’had dar al-sunnah Ciputat, cetakan pustaka Firdaus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar