BAB
I
PENDAHULUAN
Ilmu semantik di dalam turats Arab
disebut dengan ilmu Dilâlah atau Dalâlah. Kata Dilâlah adalah
bentuk derivasi dari kata Dalla-Yadullu-Dilâlah, yang berarti sesuatu
yang dijadikan alat untuk mengetahui sesuatu yang lain sebagaimana dipaparkan
oleh al-Râgib (W 565 H)[1],
misalnya di Indonesia simbol bendera warna kuning menunjukkan akan adanya orang
meninggal, simbol bendera berwarna kuning dinamakan al-Dâl, sedangkan
adanya orang meninggal dinamakan al-Madlûl. Objek kajian ilmu ini adalah
tentang makna, khususnya makna yang terkaita dengan kata, klausa, dan kalimat. Sebenarnya,
Dalam Turats Arab terdapat juga ilmu yang mengkaji tentang hubungan
makna dengan kata atau kalaimat, yaitu ilmu al-ma’ânî dalam ilmu Balagah.
Agar tidak terjadi tumpang tindih dengan ilmu ma’ânî, maka diberilah
nama ilmu al-Dilâlah.[2]
Bangsa Arab, baik dari kalangan
linguistnya, Ushûliyûn, manâthiqah telah mengenalistilah ini dan
membaginya sesuai versi mereka masing-masing. Misalnya pembagian Dilâlah menurut
manâthiqah terbagi menjadi dua, yaitu Dilâlah lafdhziyah dan Dilâlah
ghair al-lafhziyah dan keduanya itu terbagi-bagi lagi menjadi Wadh’iyyah,
aqliyyah, dan Thabi’iyyah. Berbeda dengan Ibnu Jinni yang membagi Dilâlah
al-lafdz menjadi tiga bagian, yaitu al-dilâlah al-lafdziyah, al-dilâlah
al-shinâ’iyah, dan al-dilâlah al-ma’nawiyah.[3]
Dalam perkembangannya, ilmu semantik
berkembang begitu pesat, sehingga melahirkan beberapa teori yang dikembangkan
oleh orang-orang Barat. Salah satu kajian teori semantik yaitu semantik field
atau dalam bahasa Arab disebut al-huqûl al-dilâliyah atau disebut juga
dengan al-haql al-mu’jami (Lexical field). Walaupun sebenarnya,
orang-orang Timur pun sudah terlebih dahulu mengenal semantik field itu dalam
bentuk aplikasi, bukan teori. Para pakar semantik Arab modern, seperti Ahmad
Mukhtar dalam karyanya ‘ilm al-dilâlah hanya menterjemahkan dari
literatur Barat. Penulis menemukan beberapa literatur berbahasa Arab mengenai
teori ini dan aplikasinya, diantaranya adalah karya Ahmad Azuz yang penulis
unduh dari http://www.awu-dam.org. Di dalam karyanya itu,
Azuz membahas tersendiri dalam sub judul mengenai akar teori semantik field
dalam literatur linguistik Arab. Selain
karya tersebut diatas, penulis menemukan beberapa tulisan-tulisan para pengkaji
semantik field, seperti karya Laila Âl Hammad, Mahasiswi Pasca Sarjana
Universitas al-Malik Su’ûd Riyad, Relasi semantik field dengan majâz (dalam
ilmu Balagah). Di Jurusan Bahasa dan Sastra Arab UIN Syarif Hidayatullah
sendiri, penulis temukan skirpsi Muhammad Syarif Hidayatullah, M.Hum, Lc Medan
makna kepala Negara.
Dalam
makalah ini, penulis akan memaparkan Sejarah singkat wacana teori medan makna
baik dalam tradisi literatur Timur maupun Barat. Selain itu Penulis juga akan
menyebutkan beberapa manfaat menganalisis sebuah kata dan kalimat melalui teori
medan makna ini berikut aplikasinya. Bila membahas medan makna, maka komponen
makna pun seperti menjadi satu kesatuan dengan medan makna tersebut, karena
diantara keduanya memiliki keterkaitan erat dalam menganalis sebuah kata dalam
suatu kelompok. Insyaallah
BAB
II
PEMBAHASAN
- Pengertian
Semantic Field dalam literatur Barat
Sebelum
membahas lebih jauh materi ini, pemakalah akan memaparkan perbedaan pendapat
seputar Semantic field itui sendiri apakah dia sebuah ilmu, metode, teori atau
hanya sekedar pendekatan. Dalam literatur Barat, semantic field dikenal dengan
beberapa nama, yaitu Lexical Field, Semantic Space, Semantic Area, Semantic
Range, Semantic Class, Semantic Domain, Conceptual Field, Lexical Domain.[4]
Dalam literatur Arab sering disebut dengan al-huqûl al-dilâliyah, al-huqûl
al-mu’jamiyah, al-majâl al-dilâliyah dan lain sebagainya.[5]
Sedangkan dalam bahasa Indonesia disebut dengan medan makna.
Sebagian
ahli semantik, seperti Leheur lebih memilih Semantic Field hanyalah sebagai
sebuah ittijâh atau muqârabah (Approach) daripada memilih
Semantic Field sebagai sebuah metode atau teori. Ia berasalan karena Semantic
Field ini belum tersusun rapih secara epistemologi menjadi sebuah teori atau
metode.[6]
Terlepas dari pendapat apakah semantic field itu adalah teori atau hanya
sekedar pendekatan, yang terpenting adalah bagaiamana kita dapat
mengaplikasikannya dalam kajian linguistik.
Salah
satu patokan utama linguistik abad dua puluh ialah asumsi bahwa bahasa terdiri
dari sistem atau satu rangkaian subsistem yang berhubungan. Oleh karena itu,
analisis bahasa dipecah atas subsistem fonologi, morfologi, sintaksis, dan
semantik. Hubungan antarunsur dalam subsistem-subsistem itu menentukan nilai
dan fungsi masing-masing unsur. Dengan demikian, para linguis pun ingin mencari
hubungan antara unsur-unsur dalam sistem semantik sebuah bahasa.[7]
Buah
pikir F. de Saussure dan muridnya C. Bally, juga buah pikir dari W. von
Humboldt, Weisgerber, dan R.M. Meyer telah menjadi inspirasi utama bagi J.Trier
dalam pengembangan Teori Medan Makna. Dalam bukunya tentang
istilah-istilah ilmiah bahasa Jerman, Der Deutsche Wortschatz im Sinnbezirk
des Verstandes (1891), J. Trier melukiskan Vokabulari sebuah bahasa
tersususn rapi dalam medan-medan dan dalam medan itu setiap unsur yang berbeda
didefinisikan dan diberi batas yang jelas sehingga tidak ada tumpah tindih
antarsesama makna. [8]
Crystal
mengemukakan bahwa teori medan makna merupakan pendekatan yang dikembangkan
sejak tahun 1930-an. Pendekatan ini, seperti dikemukakan oleh Wedhawati,
dipelopori oleh Trier. Hanya saja Trier tidak menggunakan istilah semantic
field akan tetapi ia menggunakan istilah wortfeld[9]
atau padanan dalam bahasa Arab yang penulis temukan kemungkinan adalah al-haql
al-lisânî lî al-‘alâmât.[10]
Ullman
mendefinisikan semantic field dengan qithâ’ mutakâmil min al-mâddah
al-lugawiyah yu’abbir ‘an majâl mu’ayyan min al-khubrah (bagian yang saling
melengkapi dari suatu sistem linguistik yang mengupas sebuah medan tertentu
yang masuk dalam kelompok besar sebuah makna) sedangkan Lyons mendefinisikannya
dengan majmu’ah juziyyah li mufradât al-lugah (kumpulan bagian sebuah
kata atau leksem bahasa).[11]
Perlu
diketahui bahwa pembedaan medan makna tidak sama untuk setiap bahasa. Misalnya,
bahasa Indonesia membedakan medan makna melihat atas: melirik,
mengintip, memandang, meninjau, menatap, melotot, dan sebagaianya.[12]
- Akar
Teori Semantic Field dalam literatur Linguistik Arab
Semantic
field dalam literatur Linguistik Arab disebut dengan al-huqûl
al-dilâliyah. Kata al-huqûl sendiri adalah bentuk plural dari kata al-haql.
Ibn Mandzur menyebutkan variasi makna al-haql tersebut dari beberapa
pakar, diantaranya pendapat Abu ‘Ubaid yang mengatakan bahwa al-haql berarti
“tanah yang tidak berair dan tidak berpohon”. Pendapat yang lain lebih
menekankan bahwa al-haql itu bukan tanah atau ladangnya, akan tetapi
tanaman yang berada diladang, ada yang mendefinisikan al-haql adalah
tanaman yang daunnya sudah terlihat hijau.[13]
Terlepas
dari definisi diatas, pada awalnya atau hakikatnya kata al-haql digunakan
untuk makna yang berkaitan dengan ladang, baik itu buminya atau tanamannya. Yang
kemudian kata al-haql tersebut dipinjam oleh ahli linguistik, dalam hal
ini ahli semantik, untuk menyebut suatu ilmu semantik sehingga menjadi haqiqah
‘urfiyah.[14]
Secara
teoritis tidak dapat dipungkiri bahwa Semantic Field Barat lebih mapan
daripada Semantic Field Arab, namun secara praktis mereka lebih dahulu
daripada Barat. Hal ini terbukti dalam beberapa karya yang ditorehkan oleh para
pakar-pakar Arab klasik, seperti al-Hayawân karya al-Jâhidz (w.255 H), Khalq
al-Insân karya al-Ashmu’i (w.216 H), al-maqshûr wa al-mamdûd karya Ibn Duraid (w.321 H), kitâb al-alfâdhz karya Ibn
al-Sukait (w.224 H).
Berikut
ini penulis deskripsikan beberapa karya Linguis Arab yang dianggap sebagai
karya yang merepsentasikan semantic field.
·
kitâb al-alfâdhz karya Ibn al-Sukait.
Ibn
al-Sukait adalah seorang Sastrawan (sekaligus Linguis) yang lahir pada akhir
abad ke-2 dan wafat pada awal abad ke-3, tepatnya ialah 186 H - 244 H. Ibn
al-Sukait menjabat posisi terhormat sebagai dewan penasehat putra-putra raja,
al-Mutawakkil, salah satu Khalifah Abbasiyah. ayahnya bernama Ishaq, seorang
yang juga tidak diragukan kemampuan bahasa dan sastranya, ia adalah murid dari
pakar nahwa Kufah, al-Kisai. Hal
tersebut ditularkan untuk anaknya, Ibn al-Sukait.
Penulis
dapatkan kitab al-alfâdhz ini berdasarkan versi yang di tahqîq
oleh Fakhruddin Qabawah. Menurutnya, kitab ini dijadikan rujukan metdologis
oleh leksikograf dalam menyusun kamus-kamus mereka. Bahkan Ibn Duraid dan
al-Anbari menjadikan kitab ini disejajarkan dengan karya yang menjadi rujukan
utama, seperti ishlâh al-manthiq karya Ibn al-Sukait sendiri, adab al-kâtib karya Ibn Qutaibah
al-Dinawari (w.276 H), dan al-gharîb al-mushannaf karya Abu ‘Ubaid
al-Harawi (w.224 H). Karya ibn al-Sukait ini berupa kamus yang berisi tentang
kata-kata yang masuk dalam kelompok kata tertentu dan dibentuk dalam 146 bab.
- Bâb
al-Ghina wa al-Khashib (Bab tentang kata kekayaan
dan kesuburan).
- Bâb
al-faqr wa al-jadb (Bab tentang kata kefakiran dan
kegersangan).
- Bâb
al-jamâ’ah (Bab tentang kata jamaah).
- Bâb
al-katâib (Bab tentang kata Batalyon).
- Bâb
al-ijtimâ’ (Bab tentang kata perkumpulan).
- Bâb
al-tafarruq (Bab tentang kata perpisahan).
- Bâb
al-jamâ’ah min al-ibil (Bab tentang kata
kelompok onta).
- Bâb
al-Syuhh (Bab tentang kata pelit). Dan
seterusnya.
Salah satu kelompok kata yang penulis
teliti diatas adalah Bab pertama Bâb al-Ghina wa al-Khashib dan Bab
ke-58 tentang sifat wanita dalam masalah jimâ’ (Bâb shifat
al-nisâ’ fî al-jimâ’).
كلمة
الخصب
|
كلمة الغنى
|
الرقم
|
غضارة
|
أثرى وثري فلان : إذا كثر
ماله (ثراء،ثروة)
|
۱
|
رخاخ
|
وَفَرَ-ِوَفَرًا يقال إنه
لذو وفر أي مال كثير
|
۲
|
رفاهية
|
يقال إنه لذو دثر أي مال
كثير
|
۳
|
بلهنية
|
استوثج واستوثن إذا
استكثر
|
٤
|
رفهنية
|
ضَفَنَ-يضفَن-ضفوا
|
٥
|
الخضم
|
ضنأ-يضنَأ-ضنئا
|
٦
|
القضم
|
تمشر
|
۷
|
أمِرَ-يأْمَرُ-أَمَرٌ
|
٨
|
|
أترب
|
٩
|
|
رغس
|
۱٠
|
- Analisis
Komponensial
Analisis
terhadap kata atau leksem atas unsur-unsur makna yang dimilikinya disebut
dengan analisis komponen makna atau analisis ciri-ciri makna, atau
juga analisis ciri-ciri leksikal.[15]
Komponen makna atau komponen semantik mengajarkan bahwa setiap kata atau
unsur leksikal terdiri dari satu atau beberapa unsur yang bersama-sama
membentuk makna unsur leksikal tersebut. Misalnya kata ayah mengandung komponen
makna atau unsur makna : +insan, +dewasa, +jantan dan +kawin. Dan ibu mengandung komponen makna : +insan, +dewasa, -jantan,
dan +kawin. Sebagaimana dapat di
analisis sebagai berikut:
Komponen Makna
|
Ayah
|
Ibu
|
1.
Insan
2.
Dewasa
3.
Jantan
4.
Kawin
|
+
+ + + |
+
+
-
+
|
Cara menganalisis di atas ini sudah dipakai dalam laporan
penelitian bunyi bahasa. Dalam laporan itu mereka mendeskripsikan bunyi bunyi
bahasa dengan menyebutkan ciri-ciri pembeda di antara bunyi yang satu dengan
bunyi yang lain. Analisis seperti ini di sebut analisis biner.[16]
Beberapa kelebihan dari analisis biner ini pertama,
Dengan analisis biner ini kita dapat menggolong-golongkan kata atau unsur
leksikal seperti yang dimaui teori medan makna misalnya :






Berkaki
empat
-berkaki empat
Analisis
biner ini juga di gunakan untuk mencari perbedaan semantik kata-kata yang memilik keterkaitan sinonimi, antonimi dan lain-lain.
Misalnya kata-kata kandang, pondok, rumah, istana, keraton dan wisma. Keenam
kata tersebut dapat di anggap bersinonim dengan makna dasar atau makna
denotatif tempat tinggal atau tempat kediaman.
Ciri
|
kandang
|
pondok
|
rumah
|
istana
|
keraton
|
wisma
|
Manusia
|
-
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
jelata
|
+
|
+
|
-
|
-
|
-
|
-
|
umum
|
+
|
-
|
+
|
-
|
-
|
|
Kepala negara
|
+
|
+
|
-
|
|||
raja
|
-
|
+
|
Dalam Tesisnya, M.Abdurrahman
al-Zamil, ia menulis tentang kelompok kata yang masuk dalam kategori akhlak, al-fadhz
al-akhlaq fî shahîh al-Imam al-Bukhâri. Sekitar 14 lebih kata yang masuk
dalam golongan kelompok kata akhlak. Berikut salah satu kata yang diteliti
olehnya, yaitu kata-kata yang masuk dalam medan makna al-shilah (menyambung
tali persaudaraan) :